SEJARAH DAN PROSES PENETAPAN SYARIAT TARAWIH
oleh Amin Saefullah Muchtar
Beberapa minggu setelahperistiwa di
Gua Hira, Nabi mendapat perintah shalat malam dengan turunnyasurat
al-Muzammil ayat 1-11 (di antara ayatnya)
يَاأَيُّهَاالْمُزَّمِّلُ # قُمْ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
Hai orang yang berselimut(Muhammad). bangunlah (untuk salat) di malam hari kecuali sedikit(daripadanya). Q.s. Al-Muzammil:1-2.
KataAisyah, "Maka beliau dan
para sahabatnya melaksanakan perintah itu setiapmalam hingga kaki-kaki
mereka bengkak dan Allah menahan (belum menurunkan) ayatakhir dari surat
itu (al-muzammil) selama 12 bulan. Kemudian Allah memberikankeringanan
dengan menurunkan ayat terakhir dari surat itu (ayat 20).
(Setelahturunnya ayat ke 20 al-Muzammil) salat itu hukumnya menjadi
sunat (bagi kaummuslimin, namun tetap wajib hukumnya bagi Nabi saw)"[1]
Ibnu Abas menegaskanbahwa selisih waktu turun antara ayat-ayat pertama
dan terakhir pada surat ituselama 1 tahun.[2] DemikianNabi melaksanakan
salat malam itu selama13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, yakni
sejak tahun ke-40 (darikelahirannya) yang bertepatan dengan bulan
Agustus 611 M, hingga tahun ke-53(dari kelahirannya) yang bertepatan
dengan bulan April tahun 623 M. Dan selama itu, istilah shalat malam
hanya disebut qiyamul laildan tahajjud, walaupun dilakukan dibulan
Ramadhan.
SetelahNabi hijrah ke Madinah,
dan baru menetap selama 17 bulan di Madinah, sejakRabi'ul Awwal hingga
Sya'ban 2 H, salat malam terus dilakukan oleh Nabi dan istilahsalat ini
masih qiyamul lail dan tahajjud. Namun setelah turunnya ayat
183-184al-Baqarah, yang turun padahari Kamis tanggal 28 Sya'ban tahun
ke-2 H yang bertepatan dengan tanggal 23Pebruari 624 M, Nabi menyebut
Istilah lain bagi shalat tersebut dengan ungkapanqiyamu ramadhan
مَنْ قَامَ رَمَضَانَإِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا
Selain menyebut dengan
istilahbaru, Nabi pun menetapkan beberapa aturan pada salat malam di
bulan Ramadhan ituyang sebelumnya tidak dilakukan, antara lain:
a. dikerjakan dengan
berjama'ahatau munfarid. Hanya berjamaah lebih utama. Hal itu tampak
jelas dari ajakandan pengumuman yang dilakukan beliau pada sore hari
ketika ba'da ashar, kepadahalayak untuk berjamaah salat Tarawih.
عَنْ
أَبِى ذَرٍّ قَالَ لَمَّا كَانَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ إِعْتَكَفَرَسُولُ
اللهِ فِى الْـمَسْجِدِ فَلَمَّاصَلَّى الـنَّبِيُّ صَلاَةَ العَصْرِمِنْ
يَوْمِ اثْـنَـيْنِ وَعِشْرِينَ قَالَ : إِنَّا قَائِمُونَ اللَيْلَةَ
إِنْشَاءَ اللهُ، مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ وَهِيَ
لَيْلَةُثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ فَصَلاَّهَا الـنَّبِيُّجَمَاعَةً بَعْدَ
العَتَمَةِ حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَانْصَرَفَ، فَلَمَّا كَانَ
لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًاوَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا
لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بَعْدَ صَلاَةِ العَصْرِيَوْمَ أَرْبَعٍ
وَعِشْرِينَ ، فَقَالَإِنَّا قَائِمُونَ اللَّـيْلَةَ إِنْ شَاءَ الله ُ
يَعْنِى لَيْلَةَ خَمْسٍوَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَقُمْفَصَلَّى
بِالنَّاسِ حَتَّي ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَفَلَمَّا كَانَ
لَيْلَةَ سِتٍّ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْفَلَمَّا
كَانَ عِنْدَ صَلاَةِ العَصْرِ مِنْ يَوْمِ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَفَقَالَ
إِنَّا قَائِمُونَ إِنْ شَاءَاللهُ يَعْنِى لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْقَالَ أَبُو ذَرٍّ
فَـتَجَلَّدْنَالِلْقِيَامِ فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ e حَتَّى
ذَهَبَثُلُـثَا اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى قُـبَّتِهِ فِى
الْـمَسْجِدِ فَقُلْتُلَهُ إِنْ كُنَّا لَقَدْ طَمِعْنَا يَا رَسُولَ
اللهِ
أَنْ تَقُومَ بِنَا حَتَّىتُصْبِحَ، فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّإِنَّكَ إِذَا
صَلَّيْتَ مَعَ إِمَامِكَ وَانْصَرَفْتَ إِذَا انْصَرَفَ كُتِبَلَكَ
قُنُوتُ لَيْلَتِكَ رواه احمد
Dari Abu Dzar, ia berkata,
"Tatlaka sepuluh hari terakhir Ramadhan,Rasulullah saw. itikaf di
masjid, ketikasalat ashar pada hari ke 22, ia bersabda, 'Insya Allah
kita akanberjamaah malam ini, siapa di antara kamu yang akan salat pada
malam itusilahkan ia salat, yakni malam ke 23, kemudian Nabi salat malam
itu denganberjamaah setelah salat isya sampai lewat sepertiga malam.
Kemudianbeliau pulang. Pada malam ke 24, ia tidak berkata apapun dan
tidak mengimami,pada malam ke 25 beliau berdiri setelah salat ashar,
yaitu pada hari ke 24,kemudian bersabda, 'Kita akan berjamaah malam ini
Insya Allah yakni pada malamke 25, Siapa pun yang mau ikut berjamaah
silahkan' Kemudian ia mengimamiorang-orang sampai lewat sepertiga malam.
Kemudian ia pulang. Tatkalamalam ke 26 ia tidak berkata apa pun dan
tidak mengimami kami, tatkala malam ke27, beliau berdiri setelah salat
ashar pada hari ke 26, kemudian berdiri danbersabda, 'Insya Allah kita
akan berjamaah malam ini yakni pada malam ke 27,siapa yang akan
mengikuti berjamaah silahkan 'Abu Dzar berkata, 'Maka kamiberusaha keras
untuk ikut salat berjamaah itu, lalu Nabi saw. mengimami kamisampai
lewat dua pertiga malam. Kemudian beliau pergi menuju Qubahnya dimasjid
(karena sedang I'tikaf). saya berkata padanya, 'Bagaimana jika
kamisangat menginginkan tuan mengimami kami sampai subuh. Beliau
bersabda, 'WahaiAbu Dzar jika engkau salat beserta imammu, dan engkau
selesai (salat) ketikaimam itu selesai, telah ditetapkan (pahala)
untukmu karena panjangnya salatmupada malamku. H.r. Ahmad.[3]
Sikap seperti initidak pernah
dilakukan oleh beliau selama 13 tahun di Mekah, termasuk padabulan
Ramadhan. Demikian pula selama di Madinah di luar bulan Ramadhan
sikapini tidak dilakukan oleh beliau.
b.
dikerjakan pada awal, tengah, atau akhir malam. Hal iniberbeda dengan
Ramadhan ketika di Mekah atau di luar bulan Ramadhan ketikasudah hijrah
ke Madinah. Pada riwayat Al-Bukhari, Umar bin Khathab menyatakan:
وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَأَوَّلَهُ
Artinya : Dan orang-orangmelakukan (Tarawih itu) pada awal malam. H.r. Al-Bukhari.[4]
Keterangantersebut menunjukkan bahwa kebanyakan orang-orang melakukannya pada awal malam.
Dari
sinilah kita mendapatkanadanya kaifiyat yang berbeda ketika shalat itu
dilaksanakan di luar ramadhanyang populer dengan sebutan Tahajud dan
witir serta yang dilakukan di ramadhanyang popoler dengan sebutan qiyamu
ramadhan dan tarawih.
Adapun
istilahtaraweh mulai muncul sejak pertengahan abad ke-1 H. Hal itu
terbukti padajawaban Abu Hanifah(80 H - 150 H/699 M -767 M) ketika
ditanya oleh muridnya bernama Abu Yusuftentang fi'il Umar (Lihat,
Aujazul Masalik, II:293). Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwaistilah
taraweh baru dikenal sejak abad ke-2 H.
Siapa Yang paling Tahu ShalatMalam Rasul
Yang
paling mengetahui salatmalam Rasul adalah Aisyah, dibandingkan dengan
para sahabat lainnya, karenaNabi sering melakukannya waktu bermalam di
Aisyah. Ketika Ibnu Abas ditanyaoleh Sa'id bin Hisyam, ia berkata:
..أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَىأَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ بِوِتْرِ رَسُولِ اللهِ قَالَ: مَنْ؟ قَالَ: عَائِشَةُ, فَأْتِهَافَاسْأَلْهَا..
Maukah
engkaukutunjukkan orang yang paling mengetahui dari antara penghuni
bumi ini padawitir Rasulullah saw.? Saad bertanya,'Siapakah? Ibnu Abas
menjawab,'Aisyah,maka datanglah kepadanya dan bertanyalah... [5]
Sehubungandengan itu apabila
terjadi perbedaan pendapat pada salat malam Rasulullah saw.dengan para
sahabatnya, maka riwayat Aisyah-lah yang harus didahulukan sebelumyang
lainnya selama kedudukannya shahih, karena ia yang paling
mengetahuitentang salat Malam Rasulullah saw. Karenaitu tidak
mengherankan bila banyak di antara tabi'in yang bertanya kepadaAisyah
tentang shalat malam Rasul, antara lain: Abdullah bin Syaqiq,
Abdullahbin Abu Qais.
Jumlah dan Formasi Rakaat
Bagaimana bilangan dan format
rakaat salat taraweh itu?Mengenai bilangan dan format rakaat dan ini,
Ummul Mukminin Aisyah pernahditanya oleh Abu Salamah bin Abdurahman:
كَيْفَ
كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِصَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى
رَمَضَانَ، قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُاللهِ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ
فِىغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ
تَسْأَلْ عَنْحُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ
تَسْأَلْ عَنْحُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً، قَالَتْ
عَائِشَةُ فَقُلْتُيَارَسُولَ اللهِ، أَ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟
قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّعَيْنَيَّ تَنَامُ وَلَمْ يَنَمْ قَلْبِي
Artinya: "Bagaimana (cara) salat
Rasulullah saw. pada malam bulanRamadhan ? Ia (Aisyah) menjawab,
'Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulanRamadhan, (juga) pada bulan
yang lainnya, dari sebelas rakaat. Beliau salatempat rakaat, dan engkau
jangan bertanya tentang baik dan panjangnya, beliau salat(lagi) empat
rakaat, dan jangan (pula) engkau bertanya tentang baik danpanjangnya,
kemudian beliau salat tiga rakaat. Aisyah berkata, 'Aku bertanyawahai
Rasulullah ! Apakah engkau tidur sebelum witir ? Beliau menjawab, 'Hai
Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur. H.r.
Al-Bukhari, pada bab fadhlu man qamaramadhan.[6]
Hadis ini oleh Imam al-Bukhari ditempatkan pulapada Kitabut Tahajjud, bab
بَاب قِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّىاللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ
(Babsalat malam Nabi pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya) [7]
Dalam riwayat ini Aisyah
menerangkan dengan tegasjumlah rakaat salat taraweh "sebelas". Kemudian
ia memperinci, empat rakaat,empat rakaat dan tiga rakaat. Tetapi ia
tidak menerangkan cara dan bacaan yangdibaca pada setiap rakaat, karena
sudah dimaklumi oleh yang bertanya khususnyatentang arti rakaat dalam
salat.
Yang jadi pokok persoalan,
apakah format 4-4-3 yang ditegaskan Aisyahini merupakan ta'yin
(kemestian) atau takhyir (pilihan). Untuk fi ghairihi (diluar Ramadhan)
format ini bukan ta'yin, karena ditemukan format lain yang pernah
dilakukan oleh Nabi, sebagaimana keterangan Aisyah sendiri juga
sahabatlainnya, antara lain
· 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 1 = 11 cara inidisebut witir dengan 1 rakaat
قَالَتْ
عَائِشةُ كَانَ رَسُولُاللهِ يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةًيُسَلِّمُ
بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ رواه مسلم
Artinya:Aisyah
ra. Berkata, "Rasulullah saw. salat sebelas rakaat. Beliau salam
setiapdua rakaat dan witir dengan satu rakaat." H.r. Muslim
· 2 + 2 + 2 + 2 + 3 = 11 cara ini disebutwitir dengan 3 rakaat
عَنْ
عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ قَالَسَأَلْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَعَبْدَ
اللهِ بْنَ عُمَرَ عَنْ صَلاَةِرَسُولِ اللهِ بِاللَّيْلِ فَقَالاَثَلاَثَ
عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا ثَمَانٍ وَيُوتِرُ بِثَلاَثٍ
وَرَكْعَتَيْنِبَعْدَ الْفَجْرِ رواه ابن ماجة
Artinya:
Dari Amir as-Sya'bi, iaberkata, "Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas
dan Abdullah bin 'Umar ra.tentang salat malam Rasulullah saw., maka
keduanya berkata, 'Salat Rasulullahpada malam hari tiga belas rakaat,
antara lain delapan rakaat dan witir tigarakaat, dan dua rakaat setelah
fajar'." H.r.Ibnu Majah
Sedangkan untuk fi Ramadhan (di
bulan Ramadhan), hemat kamiformat ini adalah ta'yin, karena tidak
ditemukan format lain yang dilakukanoleh Nabi pada bulan Ramadhan,
selain keterangan Aisyah. Sedangkan Aisyah adalahorang yang lebih tahu
keadaan Nabi waktu malam. Kata Ibnu Hajar:
مَعَ كَوْنِ عَائِشَةَأَعْلَمَ بِحَالِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لَيْلاً مِنْ غَيْرِهَا
Di samping Aisyah adalah yangpaling tahu keadaan Nabi di waktu malam daripada istri Nabi lainnya. [8]
Selainketegasan Aisyah bahwa
Nabi saw. tidak pernah salat Tarawih lebih dari 11 rakaat dengan format
4-4-3, dapat diambilkesimpulan pula bahwa parasahabat pun demikian,
sebab para sahabat adalah makmum-makmumnya. Oleh karenaitu apabila
dikatakan bahwa terdapat sahabat yang berbeda darinya tentulahharus
ditunjukan dalilnya yang kuat. Karena itu Syekh al-Albanimenyatakan
bahwa keterangan Aisyah tersebut sesuai dengan keterangan Jabir
danAisyah sendiri yang menerangkan peristiwa salat tarawih Nabi secara
berjamaahselama tiga malam di awal Ramadhan. [9]
قَالَ
جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ فِي
شَهْرِرَمَضَانَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَأَوْتَرَ فَلَمَّا كَانَتِ
الْقَابِلَةُإِجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ
فَلَمْ نَزَلْ فِيهِ حَتَّىأَصْبَحْنَا ثُمَّ دَخَلْنَا فَقُلْنَا يَا
رَسُولَ اللهِ إِجْتَمَعْنَاالباَرِحَةَ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ
تُصَلِّيَ بِنَا فَقَالَ إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ
Artinya:Jabir
bin Abdulah telah berkata, "Rasulullah saw. Salat mengimami kami
delapanrakaat pada malam Ramadhan dan beliau melakukan witir. Maka
ketika malamberikutnya kami berkumpul dan berharap beliau akan keluar
lagi, dan kami terusmenerus di situ sampai pagi, kemudian kami masuk dan
kami berkata kepadanya,'Wahai Rasulullah, kami berkumpul di mesjid
malam tadi dan kami berharap andamengimami kami, beliau bersabda, Saya
khawatir dianggap wajib atas kalian.'" [10]
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ النًّبِيَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ
نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى الثَّانِيَةَفَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ
اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ أَوِالرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ
رَسُولُ اللهِ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ فَلَمْ
يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِإِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيتُ أَنْ
تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ وَذلِكَ فِيرَمَضَانَ متفق عليه
Artinya:Dari Aisyah, (ia
berkata), "Bahwasanya Rasulullah saw. salat di mesjid, danorang-orang
pun ikut salat berjamaah dengannya. Kemudian beliau salat pada harikedua
(dari Ramadhan), dan orang-orang pun semakin banyak dan berkumpul
padahari kedua atau ke empat (untuk ikut berjamaah). Kemudian (hari
selanjutnya)Rasulullah saw. tidak keluar menemui mereka (untuk salat).
Ketika masuk waktu subuh beliau bersabda, 'Aku melihat apa yang telah
kamu kerjakan, tidak adayang menghalangiku untuk keluar menemui kalian
semua selain aku khawatir (salatitu) diwajibkan atas kamu, dan itu pada
bulan ramadan". Muttafaq 'Alaih. [11]
Adakah format lain yang dilakukan oleh Nabi pada bulan Ramadhan selain keteranganAisyah yang tegas itu?
Status Hadis Tarawih Lebih 11 Rakaat
Pertanyaan
Bukankah
terdapat katerangan-keteranganlain baik berupa amaliyah Nabi maupun
para sahabat tentang tarawih lebih dari11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan47
rakaat)?
Jawaban
Apabila
keterangan-keterangan itusahih, maka hal itu benar adanya. Namun karena
status hadisnya daif, maka hal itu tidak benar adanya. Keteranganyang
dimaksud adalah sebagai berikut:
Tarawih Nabi 20Rakaat +witir
عَنِابْنِعَبَّاٍسقَالَ: كَانَالنَّبِيُّصيُصَلِّىفِيشَهْرِرَمَضَانَفِيغَيْرِجَمَاعَةٍبِعِشْرِينَرَكْعَةًوَالْوِتْرِ.
Dari
Ibnu Abbas, ia berkata,"Nabi saw. salat pada bulan Ramadan tanpa
berjamaah dua puluh rakaat dan(ditambah) witir." H.r. AlBaihaqi, ath
Thabrani, Ibnu Abi Syaibah.[12]
Keterangan:
Hadis
ini daif karena semua sanadnya melalui seorang rawi dengan kunyahAbu
Syaibah. Nama lengkapnya Ibrahim bin Usman bin Khuwaisati Al-Absiy
(seorangmaula Al-Absiy) Abu Syaibah Al-Kufi Qadi Wasith.
Mu'awiyah
bin Shalih mengatakan dari Yahya binMain, ia berkata, "Ia Daif".
Imamal- Bukhari berkata, "Sakatuu 'anhu" (para ulama hadis
meninggalkanhadisnya)." Abu Daud berkata, "Dha'iful Hadits." At-Tirmidzi
berkata, "Munkaral-hadits." An-Nasai dan Abu Bisyr Ad-Dulabi berkata,
"Matruk al-Hadits."Abu Hatim berkata, "Da'if al-hadits, Sakatuu 'anhu,
dan para ulamameninggalkan hadisnya." [13]
Tarawih 20 rakaat Zaman Umar
عَنْ
يَزِيْدَ بْنِخُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانُوْا
يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَكَانُوْايَقْرَأُونَ بِالمِئَينَ وَكَانُوْا
يَتَوَكَّؤُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِعَثْمَانَ مِنْ شِدَّةِ
القِيَامِ رواه البيهقي
Artinya: Dari Yazid bin
Khushaifah dariAs-Saib bin Yazid, ia berkata, "Orang-orang salat malam
pada masa Umar binKhatab r.a pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat, ia
berkata, 'Mereka membacadengan miin (surat-surat yang lebih dari seratus
ayat) dan mereka bersandarpada tongkat-tongkatnya pada masa Usman r.a,
karena terlalu lama berdiri. H.r. Al-Baihaqi. [14]
Hadis ini diriwayatkan
melaluiYazid bin Khushaifah. Menurut al-Albani, dalam periwayatan Ibnu
Khushaifah,terdapat idhtirab (inkonsistensi). Terkadang ia meriwayatkan
(jumlahrakaat Qiyam Ramadhan) duapuluh satu rakaat, dan terkadang
iameriwayatkan duapuluh tiga rakaat. Disamping itu, Al-Albani beralasan
bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, dalam komentarnyatentang Yazid, mengatakan
bahwa ia (Yazid) seorang munkarul hadits. [15]
Sanggahan Terhadap al-Albani
Penilaianal-Albani
terhadap hadis Yazid telah ditanggapi oleh Syekh Ismail al-Ansharidalam
kitabnya berjudul Tashhih Hadis Salatit Tarawih 'Isyrina Rak'atan
warRaddu 'Ala al-Albani fi Tadh'ifihi. Tanggapan tersebut kami ringkas
menjadidua bagian:
A.Sanggahan secara umum
Tidak
adaseorang pun yang memungkiri bahwa salat Tarawih duapuluh rakaat itu
merupakanamalan yang diterima masyarakat luas. Menurut Ibnu Abdil Barr,
hadis tentangsalat Tarawih duapuluh rakaat itu adalah shahih, yaitu
berasal dari Ubay binKa'ab tanpa ada shahabat yang menentangnya."
Sedangkan at-Tirmidzi dalamkitabnya Sunan al-Tirmidzi, berkata:
"Mayoritas para ulama mengamalkan riwayatdari Umar, Ali dan
shahabat-shahabat Nabi saw lainnya yang salat Tarawihduapuluh rakaat.
Inilah pendapat Sufyan al-Tsauri, Ibn al-Mubarak, danal-Syafi'i. Bahkan
al-Syafi'i menambahkan: "Demikianlah yang aku ketahui diMekkah. Mereka
salat dengan duapuluh rakaat."
Ibnu Rusyd, dalam kitabnya
Bidayatul Mujtahid,berkata, "Imam Malik, dalam salah satu pendapatnya,
Imam Abu Hanifah, Imamal-Syafi'i, Imam Ahmad, dan Imam Abu Dawud memilih
salat qiyam Ramadhan(Tarawih) dengan duapuluh rakaat selain salat
witir."
Menurut Ibn Abdal-Barr:
"Inilah pendapat jumhur ulama. Dan ini pula pendapat yang kami pilih."
Demikian al-Hafizh Ibn al-Iraqi mengutipnya dalam kitab Tharh
al-Tatsrib.Selanjutnya, Ibn al-Iraqi berkata, "Pendapat inilah yang
dipegang oleh Imam AbuHanifah, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Jumhur
ulama. Pendapat tersebut jugatelah diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah dalam
kitabnya al-Mushannaf dari Umar, Ali,Ubay, Syutair bin Syakal, Ibnu Abu
Mulaikah, al-Harits al-Hamdani, dan Abual-Bukhturi."
Imam
Ibnu Taimiyah, dalam kitabnya al-Fatawa,berkata, "Hadis yang sahih
menyatakan bahwa Ubay bin Ka'ab mengimami parashahabat dalam salat malam
pada bulan Ramadhan dengan duapuluh rakaat dan witirtiga rakaat. Maka
banyak ulama berpendapat bahwa itu adalah sunnah (berasaldari Nabi saw).
karena Ubay saat itu mengimami jamaah yang terdiri dari kaummuhajirin
dan kaum anshar. Dan ternyata tidak ada seorang pun dari mereka
yangmemprotesnya."
Dalam kitab
Majmu'ah al-Fatawa al-Najdiyyahterdapat sebuah keterangan bahwa Syaikh
Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Wahhabmemberikan jawaban ketika ditanya
tentang jumlah rakaat salat Tarawih. Beliaumenjawab bahwa Umar ra telah
mengumpulkan para shahabat yang lainnya agarbermakmum pada Ubay bin
Ka'ab. Karena itu mereka salat dengan duapuluh rakaat.
Di
samping itu masih banyak lagiketerangan-keterangan lain yang menunjukan
bahwa para ulama salaf dan khalaftelah menerima adanya penambahan
rakaat Tarawih lebih dari sebelas rakaat. Jikatidak ada pembuktian
otentisitas hadis Yazid bin Khushaifah kecuali dengankesepakatan para
ulama diatas, maka hal itu sudah cukup sebagai dalil ataskeshahihan
hadis tersebut. Dan kita pun tidak usah lagi mempermasalahkansanadnya.
Sebab para ulama pun telah menerima isi dan kandungan hadis itu.
B.Sanggahansecara khusus berkaitan dengan Yazid bin Khushaifah
Yazid
binKhushaifah adalah seorang tabi'i yang masyhur. Imam Ahmad telah
menilai tsiqahdalam riwayat al-Atsram yang berasal dari padanya.
Demikian pula Abu Hatim,an-Nasa'i dan Ibnu Sa'd. mereka sependapat
dengan Imam Ahmad dalam menilaiYazid sebagai orang tsiqah. Yahya bin
Ma'in berkata: "Ibnu Khushaifah adalahorang tsiqah dan hujjah. Imam
Malik dan Imam-Imam lainnya menjadikan riwayatnyasebagai hujjah."
Sedangkan Ibnu Hibban memasukan Yazid ke dalam al-Tsiqah. Untuklebih
lengkapnya mengenai kredibilitas Yazid ini, silahkan lihat kitab
Tahdzibal-Kamal. Karya al-Hafizh Abu al-Hajjaj al-Mizzi, juga dalam
kitab karyaal-Hafizh Ibnu Hajar, yaitu: Tahdzib al-Tahdzib dan Hady
al-Sari. Adapunriwayat al-jiri dari Abu Dawud bahwa Imam Ahmad mengritik
Yazid bin Khushaifahsebagai Munkar al-Hadsit (Hadisnya disebut Hadis
munkar), sebagaimana yangdikutip oleh Al-Albani, maka kami sanggah
disini dengan komentar al-Hafizh IbnHajar dalam Hadyi al-Sari ketika
menyebutkan riwayat ini. Beliau berkata, "Kataini –yaitu Munkar
al-Hadis- dikemukan oleh imam Ahmad pada orang-orang yangsemasa dengan
Yazid tetapi hadisnya gharib (asing). Hal itu diketahui setelahdiadakan
penelitian." Kemudian Ibnu Hajar melanjutkan, "Imam Malik dan
imam-imamlainnya menjadikan Riwayat Ibnu Khusaifah sebagai hujjah."
Dari keterangan al-Hafizh
IbnuHajar ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa komentar Imam Ahmad
berupamunkar al-Hadits tidak menunjukkan atas kecacatan seorang rawi
dalamperiwayatannya. Tetapi komentar ini ditunjukan bagi orang yang
meriwayatkanHadis-hadis secara menyendiri dari rawi-rawi semasanya.
Menurut al-Dzahabidalam kitabnya Mizanul I'tidal, ketika menyebutkan
biografi Ali bin al-Madini,bahwa seorang rawi yang tsiqah dan hafizh,
apabila meriwayatkan Hadis-hadissecara menyendiri dan rawi-rawi lainnya,
maka itu lebih tinggi dan lebihsempurna tingkatannya. Periwayatan
tersebut, lanjut al-Dzahabi, menunjukanbahwa ia adalah seorang rawi yang
paling adil dalam menukil ilmu Hadissekaligus menghimpunnya. Padahal
pada saat yang sama, rawi-rawi lainnya tidakmeriwayatkan Hadis tersebut,
sebab mereka tidak mengetahuinya. Kecuali jika diaterbukti membuat
kekeliruan dan diduga membuat riwayat tersebut sehingga diasaja yang
mengetahuinya. Kemudianal-Dzahabi melanjutkan, "Perhatikanlah, pada masa
awal islam, para sahabat Nabisaw, mulai yang yunior sampai yang senior,
semuanya meriwayatkan Hadis secarasendiri-sendiri. Apakah kita katakan
bahwa hadis riwayat mereka itu tidak dapatdijadikan hujjah ? Begitu juga
para tabi'in, masing-masing dari mereka memilikiriwayat Hadis tertentu
yang tidak dimiliki oleh yang lainnya, "Demikianal-Dzahabi.
Sebagaimanayang diketahui bahwa
dalam hadis Tarawih, Yazid bin Khushaifah tidak melakukankekeliruan. Dia
juga tidak meriwayatkan hadis tersebut secara sendiri,sebagaimana yang
akan kami jelaskan nanti.
Adapunal-Dzahabi
dalam kitabnya al-Mizan mencantumkan nama Yazid bin Khushaifah, halitu
tidak menunjukan kedhaifan Ibnu Khushaifah seperti yang dituduhkan
olehal-Albani. Karena dalam akhir kitab al-Mizan itu, adz-Dzahabi
menyatakan, "Padadasarnya isi kitab al-Mizan itu mengenai rawi-rawi yang
dhaif, tetepi disituterdapat rawi-rawi yang tsiqat. kami tuturkan
rawi-rawi itu untuk membelamereka Atau dengan kata lain, komentar
tentang rawi-rawi itu tidak dapatmempengaruhi kredibilitas mereka
sehingga mereka menjadi lemah."
Karenanya,Anda dapat melihat
pernyataan adz-Dzahabi ketika menuturkan biografi Ja'far binIyas
al-Wasithi, salah seorang rawi yang tsiqah. Dia berkata: "Ibnu 'Adiy
dalamkitabnya al-Kamil fi Dhu'afa al-Rijal mengangap Ja'far sebagai rawi
yang tidakbaik." Sedangkan mengenai biografi Hammad bin Abi Sulaiman,
Al-Dzahabimengatakan: "Jika Ibnu 'Adiy tidak mencantumkan Hammad dalam
kitabnya al-kamil,maka aku pun tidak mau menuturkannya." Mengenai
biografi Tsabit al-Bunani,menurut al-Dzahabi, Tsabit adalah tsabit
(tsiqah) sesuai dengan namanya. JikaIbnu 'Adiy tidak menyebutkan nama
Tsabit dalam kitabnya, maka aku pun tidakakan menuturkannya," Tentang
biografi Hammad bin Hilal, seorang ulamaterkemuka, dia mengatakan:
"Biografi Humaid tercantum dalam al-Kamil Ibn 'Adiy,karenanya aku pun
menuturkannya. Jika beliau tidak menyebutkannya, makamenurutku Humaid
adalah hujjah." Mengenai bigrafi Uwais al-Qarni,al-Dzahabi berkata:
"jika al-Bukhari tidak mengatagorikan Uwais kedalamkelompok rawi yang
dhaif, maka aku pun sama sekali tidak akan menyebutkannya.Sebab Uwais
itu termasuk para wali Allah yang shalih." Sedangkan mengenaibiografi
al-Hafizh Abd al-Rahman bin Abi Hatim, al-Dahabi berkata: "Aku tidakakan
menyebutkan biografi ??? jika Abu al-fadhl al-Sulaimani
tidakmenuturkannya. Dan Abu al-Fadhl itu, dalam menguraikan biografi Ibn
Abu Hatim,ternyata memandangnya buruk sekali."
Al-Dzahabimenulis sebuah risalah
yang khusus berbicara tentang tema ini. Pada permulaanrisalah tersebut,
beliau berkata: "Di dalam kitabku, Mizan al-I'tidhal, Akutelah
mencantumkan banyak nama-nama rawi yang tsiqat yang dijadijan hujjah
olehImam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam-imam yang lainnya, karena
merekarawi-rawi yang namanya tercantum dalam kitab-kitab jarh (yang
memuat rawi-rawiyang lemah). Rawi-rawi yang lainnya yang aku cantumkan
disini, bukan karenamereka itu dhaif, melainkan agar mereka itu
diketahui biografinya (darikitab-kitab yang lainnya). Dan masih ada rawi
yang shahih yang dipermasalahkandalam kitabku, hal itu tidak
mempengaruhi dirinya." Kemudian al-Dzahabimenuturkan satu-persatu
rawi-rawi tsiqat yang dipermasalahkan tetapi tidak
mempengaruhiketsiqatan mereka.
Kami
kira, al-Albani juga mengakui bahwa Imamal-Bukhari dan Imam Muslim
serta Imam-imam yang lainnya, semuanya menjadikanriwayat Yazid bin
Khushaifah sebagai hujjah.
Adapunkomentar al-Albani bahwa
riwayat Ibnu khushaifah itu idhthirab (tidakkonsisten), terkadang ia
mengatakan ثلاثوعشرين (dua puluh tiga rakaat) danterkadang ia
mengatakan: إحدى وعشرين (dua puluh satu rakaat), maka kami dapatkatakan
bahwa idhthirab itu tidak mempengaruhi apa-apa selagi redaksi
yangberbeda itu dapat dikompromikan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar
dalamkitabnya Fath al-Bari mengkompromikan dua hadis diatas, bahwa
perbedaan tentangrakaat yang lebih dari dua puluh itu dikembalikan pada
perbedaan tentang rakaatsalat witir. Maka witir itu terkadang dilakukan
dengan satu rakaaat terkadangdilakukan dengan tiga rakaat. Demikian Ibnu
Hajar.
Inilah yang ingin kami sampaikan
pada al-Albani,bahwa perbedaan para rawi dalam riwayat Muhammad bin
Yusuf itu lebih banyakdaripada perbedaan yang terjadi pada riwayat Ibnu
Khushaifah.
ImamMalik, dalam kitabnya al-Muwatha, meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Yusuf,dari al-Sa'ib bin Yazid, bahwa dia berkata:
أَمَرَعُمَرُ بْنُالْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدّارِيَّ أنْ يّقُوْمَا لِلناَّسِبِإِحْدَى عَشْرَةَرَكْعَةً
Artinya:"Umar
bin al-Khattab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim al-Dari untuk
mengimamisalat para sahabat lainnya dengan sebelas rakaat."
Muhammad bin Nashr al-Marwazi,
dalam kitabnya QiyamRamadhan, meriwayatkan hadis dari jalur Muhammad bin
Ishaq, dia berkata, telah menceritakan kepadaku Muhammad binYusuf, dari
al-Sa'ib, dia berkata: ثلاث عشرة (tiga belas rakaat). Sedangkan dalam
kitabnya al-Mushannaf, Abd al-Razzaqmeriwayatkan Hadis tersebut dari
Dawud bin Qais dan rawi lainnya dari Muhammadbin Yusuf, dari al-Sa'ib,
dia berkata:إحدى وعشرين (dua puluh saturakaat).
Apabila
perbedaan riwayat tentang jumlah rakaatdijadikan sebagai standar
idhthirab (ketidak konsistenan) atau tidaknya, makariwayat Muhammad bin
Yusuf itu lebih tepat dikategorikan sebagai Hadis yangidhthirab
dibanding riwayat Ibnu Khushaifah.
Akan tetapi metode ulama dalam
mengompromikanbeberapa riwayat hadis,selagi hal itu mungkin, merupakan
suatu keharusan. Karenanya, al-Hafizh IbnuHajar dalam kitabnya Fath
al-Bari mengomentari metode kompromi antar riwayatyang saling
bertentangan itu sebagai berikut: "Mengompromikan riwayat-riwayatyang
berbeda di atas itu mungkin sekali, yaitu dengan
menyesuaikannyaberdasarkan kondisi masing-masing. kemungkinan adanya
perbedaan riwayat-riwayattersebut dikarenakan bacaan salat, ada yang
panjang dan ada juga yang pendek. Jikabacaan salatnya panjang, maka
jumlah rakaat salatnya sedikit. Begitu pulasebaliknya. Jika bacaan
salatnya pendek, maka jumlah rakaatnya banyak. Danpemahaman inilah yang
dipakai oleh al-Dawudi (pengikut Mazhab Dawud al-Zhahiri)dan lainnya."
Sedangkan
al-Hafizh Ibn Abd al-Barr dan Abu Bakrbin al-Arabi mempunyai pendapat
lain. Pada riwayat Malik (yaitu tentang jumlahsebelas rakaat), menurut
kedua imam di atas, ada kekeliruan dari Malik sendiri.Yang benar adalah
jumlah duapuluh satu rakaat. Komentar Ibn Abd al-Barr dan Ibnal-Arabi
itu perlu dikritik, Riwayat Malik di atas itu diriwyatkan pula oleh Abd
al-Aziz binMuhammad dan di cantumkan oleh Sa'id bin Manshur dalam
kitabnya al-Sunan, dandiriwayatkan juga oleh Yahya bin Sa'id al-Qathan
dan dicantumkan oleh Abu Bakrbin Abi Syaibah dalam kitabnya
al-Mushannaf. Kedua riwayat pendukung di atas(yaitu riwayat Abd al-Aziz
dan Yahya) berasal dari Muhammad bin Yusuf dariSa'ib dengan redaksiثلاث
عشرة (tiga belas rakaat). Malik juga meriwayatkanhadis dengan redaksi
tersebut dari Muhammad bin Yusuf. Maka dengan alasan ini,Malik tidak
keliru seperti yang dituduhkan oleh Ibn Abdil Barr dan Abu Bakr
Ibnal-Arabi di atas.
Adapun ungkapan al-Albani
mengenai riwayat AbdurRazzaq, bahwa: "Jika Abd al-Razzaq menerima Hadis
dari rawi antara dia denganMuhammad bin Yusuf, maka illah (cacat yang
mempengaruhi otentisitas Hadis) daririwayat di atas terletak pada Abd
al-Razzaq. Sebab Abd al-Razzaq, meskipundikenal sebagai orang tsiqah,
hafizh, dan penulis buku yang masyhur, tetapi diamenderita buta mata
pada akhir usianya. Sehingga riwayatnya berubah. SedangkanAbd al-Razzaq
diatas itu, tidak diketahui apakah terjadi sebelum dia terkenapenyakit
buta atau sesudahnya?".
Statemenal-Albani
diatas dapat disanggah bahwa rawi antara Abd al-Razzaq dan Muhammadbin
Yusuf adalah al-Imam al-Jalil Dawud bin Qais. Beliau dinilai tsiqah
olehal-Syaf'i, Ahmad bin Hanbal, Ibn Ma'in, Ali bin al-Madini, Abu
Zur'ah, AbuHatim Ibn Sa'd, al-Nasa'i, al-Qa'nabi, dan Ibn Hibban,
sebagaimana diungkapkanoleh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Tahdzib
al-Tahdzib.
Tanggapandari Kami
Darisanggahan di atas ada beberapa hal yang perlu kami tanggapi;
Pertama:ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad.
Didalamkitabnya
al-'Ilal wa Ma'rifatur Rijal, Imam Ahmad sering menggunakanungkapan
munkarul hadits dalam menilai seorang rawi. Secara umum ungkapantersebut
menunjukkan jarh (celaan, kritikan) terhadap rawi yang daif.
[16]sebagai contoh, rawi Salamah bin Wardan dinilai munkarul hadits
olehImam Ahmad. [17]Ungkapan ini menunjukkan bahwa Salamah bin Wardan
rawi yang sangat daif,tidak bisa dipakai hujjah, menurut Imam Ahmad.
Namunsecara
khusus ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad itu ditujukan
pulakepada rawi yang tsiqah (kredibel). Maka dalam hal ini, ungkapan
seperti itumempunyai dua pengertian;
a)
apabilaperiwayatan seorang rawi yang tsiqat (kredibel) tidak mukhalafah
(menyalahi)dengan periwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel,
kuat), maka ungkapanitu menunjukkan taffarud (rawi tersebut sendirian
dalam meriwayatkan hadis).
b)
apabilaperiwayatan rawi yang tsiqat (kredibel) itu mukhalafah
(menyalahi) denganperiwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel,
kuat), maka ungkapan itumenunjukkan bahwa rawi tersebut mukhalafah
dengan rawi yang autsaq. [18] Jadi rawi tersebut dikritikbukan dilihat
dari aspek kepribadiannya, namun dari segi periwayatannya yangmukhalafah
dengan rawi lain yang lebih tsiqat.
Karenaitu,
untuk memahami ungkapan munkarul hadits dalam pengertian inidiperlukan
i'tibar, yaitu penelusuran terhadap berbagai hadis dalam temayang sama
yang diriwayatkan oleh rawi yang dinilai demikian oleh Imam Ahmad.
Darikriteria khusus inilah kita dapat menilai kredibilitas Yazid bin Abdullah binKhusaifah.
Dalammenilai Yazid bin Abdullah bin Khushaifah, Imam Ahmad memberikan dua penilaian;
[a]menurut Abu Bakar al-Atsram, Ahmad menyatakan tsiqat,
[b]menurut Abu Daud, Ahmad menyatakan munkarul hadits. [19]
Berdasarkankriteria khusus di
atas, kedua penilaian ini tidak ta'arudh (bertentangan),karena penilaian
tsiqat ditujukan kepada kepribadian Yazid. Sedangkan munkarulhadits
ditujukan kepada periwayatannya yang mukhalafah dengan rawi lain
yanglebih tsiqat, sebagai berikut:
Padariwayat
Yazid bin Khushaifah dari as-Saib bin Yazid diterangkan
bahwaorang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab pada bulan
Ramadhan dengan 20Rakaat. Sedangkan pada riwayat Muhammad bin Yusuf,
juga dari as-Saib bin Yazidditerangkan bahwa salat itu 11 rakaat
عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ يُوْسُفَ بْنِ أُخْتِالسَّائِبِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ
يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُالخَطَّابِ أُبَيَ بْنَ كَعْبٍ
وَتَمِيْمًا الدَارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِبِإِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً
Artinya: Dari
Muhamad bin Yusuf binsaudara perempuan as-Saib, (ia berkata), dari
as-Saib bin Yazid, sesungguhnyaia berkata, "Umar memerintah Ubay bin
Ka'ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimamiorang-orang sebelas (11)
rakaat... H.r. Al-Baihaqi[20]
Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibahditerangkan
عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ يُوْسُفَأنّ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَخْبَرَهُ أَنَّ
عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَعَلَى أُبَيٍّ و تَمِيمٍ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يَقْرَأُونَبِالْمِئَيْنِ يعني فِي رَمْضَانَ رواهابن أبي شيبة
Artinya:
Dari Muhamad bin Yusuf,(berkata), "Bahwasanya as-Saib bin Yazid
mengabarkan, 'Bahwa Umar mengumpulkanorang-orang untuk bermakmum pada
Ubay (bin Ka'ab) dan Tamim (ad-Dari) sebelas(11) rakaat. Mereka membaca
al-miin ayat lebih dari seratus ayat, yakni dibulan Ramadhan". H.r. Ibnu
Abu Syaibah[21]
Dengan demikian terjadiperbedaan
antara keterangan Yazid dengan Muhamad bin Yusuf, padahal
keduanyamenerima keterangan itu dari orang yang sama, yakni as-Saib bin
Yazid.Keterangan siapa yang layak untuk diterima? Menurut kami,
keterangan Muhamadyang lebih layak dijadikan pegangan, dengan alasan:
i) dilihat dari kekerabatan,Muhammad bin Yusuf lebih dekat dengan as-Saib, yaitu sebagai cucu sudaraperempuan as-Saib.
ii)
Dilihat dari kredibilitas,Muhammad bin Yusuf, menurut Ibnu Hajar,
seorang tsiqat tsabt[22] Sedangkan mengenai Yazid binKhushaifah, Ibnu
Hajar menilainya tsiqat saja[23]
iii)
Dilihat dari bentuk periwayatan,riwayat Muhamad menunjukkan sima'
(menerima secara langsung darias-Saib), yakni kata akhbarahu
(mengabarkan kepadanya). Sedangkanriwayat Yazid tidak menunjukkan sima'
(tidak dapat dipastikan menerimasecara langsung dari as-Saib), yakni
kata 'an (dari).
iv) Dilihat dari
redaksi matan,riwayat Muhamad lebih sharih (jelas, tegas), yaitu [1]
pelaksanaan salat11 rakaat ini diperintah langsung oleh Umar, [2] nama
imamnya jelas (Ubay danTamim ad-Dari), [3] jumlah ayat yang baca jelas
(200 ayat). Sedangkan padariwayat Yazid tidak ada kejelasan siapa yang
memerintah salat 20 rakaat itu dansiapa imamnya. Keterangan yang ada
hanya menyebut "Orang-orang salat malam padamasa Umar bin Khatab r.a
pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat".
Dilihatdari
keempat aspek di atas, kami berkesimpulan bahwa riwayat Yazid
bertentangandengan riwayat yang lebih kuat, yakni Muhamad bin Yusuf.
Dari sinilahkita dapat memahami bahwa munkarul hadits Imam Ahmad
terhadap Yazid binKhushaifah itu merupakan jarh (celaan, kritikan),
karena riwayat Yazidbertentangan dengan rawi yang lebih tsiqat.
Dengan demikian, hadis Yazid tentangsalat Tarawih sebanyak 20 rakaat tidak dapat diamalkan.
Sedangkanpernyataan
bahwa "salat Tarawih duapuluh rakaat itu merupakan amalan yangditerima
masyarakat luas" adalah helah (mendalili amal), bukan mengamalkandalil.
Selain riwayat Yazid, Tarawih 20 rakaatdiriwayatkan pula oleh Yahya bin sa'id
أَنَّ عُمَرَ أَمَرَ رَجُلاًيُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً رواه ابن أبي شيبة
Artinya:
Dari Yahyabin Said, (berkata), "Sesungguhnya Umar memerintah seseorang
untuk salat(Tarawih) berjamaah dengan orang-orang sebanyak dua puluh
rakaat". H.r. IbnuAbu Syaibah.[24]
Namun hadis ini jugadaif, karena
Yahya bin Said (bin Qais Al-Anshari), wafat tahun 143 H/760 M.,tidak
sezaman dengan Umar bin Khatab, wafaf tahun 23 H/643 H. Dengan
demikianterdapat selisih selama 120 tahun dari kewafatan Umar. Oleh
karena itu, hadisini disebut mursal.
Tarawih20 rakaat Ali bin Abu Thalib
عَنْ أَبِي الحَسْنَاءِ أَنَّعَلِيًّا أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّى بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً
Artinya
:Dari AbulHasna, bahwa Ali memerintah seseorang untuk mengimami mereka
pada bulanRamadhan dengan dua puluh rakaat. H.r. Ibnu Abu Syaibah.[25]
Pada sanad ini terdapat
kelemahan,yaitu Abul Hasna majhul (tidak dikenal). Hadis itu
diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dengan sedikit perbedaan kisah[26].
Demikian pula sanad hadis ini lemah,bahkan karena dua sebab:
Pertama: Pada sanad hadis terdapat rawi bernamaAtha bin as-Saib. Ia mukhtalit (pikun).
Kedua:Terdapat
rawi lain bernama Hamad binSyu'aib. Orang ini sangat daif. Al-Bukhari
menjarahnya dengan ungkapan munkarulhadits dan terkadang dengan fihi
nazhar.
Tarawih20 rakaat Ibnu Abu Mulaikah
Pada riwayat lain diterangkan bahwaIbnu Abi Mulaikah salat taraweh 20 Rakaat
عَنْ نَافِعِ بْنِ عُمَرَقَالَ كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَرَكْعَةً رواه ابن أبي شيبة
Artinya:
Dari Nafibin Umar, ia berkata,"Ibnu Abi Mulaikah pernah salat bersama
kami pada bulanRamadan 20 rakaat". H.r. Ibnu Abu Syaibah.[27]
Keterangan
Salat
Tarawih dengan 20 rakaat inibukan amaliah Nabi, bukan juga merupakan
amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat ini tidak dapat diamalkan.
Tarawih 21 rakaat
عَنِ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَأَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمْضَانَ عَلَى
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَلَىتَمِيمٍ الدَّارِ عَلَى إِحْدَى وَ عِشْرِينَ
رَكْعَةً يَقْرَأُونَ بِالْمِئَيْنِوَيَنْصَرِفُونَ عِنْدَ فُرُوعِ
الْفَجْرِ
Artinya: Dari
As-Saibbin Yazid, (ia berkata), "Bahwasanya Umar mengumpulkan
orang-orang pada bulanRamadhan untuk bermakmum pada Ubay bin Ka'ab dan
Tamim Ad-Dari dengan dua puluhsatu rakaat Mereka membaca Al-miina ayat
dan selesai menjelang fajar". H.r.Abdurazaq.[28]
Hadis ini diriwayatkanoleh
rawi-rawi yang tsiqat, namun tetap tidak dapat diamalkan, sebab
kasusnyasama seperti hadis Yazid bin Khushaifah. Bedanya hadis ini
melalui rawi Qaisbin Daud, dari Muhamad bin Yusuf dari As-Saib bin
Yazid. Sedangkan padariwayat Malik bin Anas dan Yahya Al-Qathan,
keduanya menerima dari Muhamadbin Yusuf dari As-Saib, diterangkan 11
rakaat. Dengan demikian periwayatanQais bin Daud bertentangan dengan
periwayatan Imam Malik dan Yahya al-Qathan.Sedangkan Imam Malik dan
Yahya Al-Qathan lebih tsiqat daripada Daud bin Qais.
Tarawih23 rakaat
Zaman Umar bin Khatab
عَنْ
يَزِيدَ بْنِ رُمَانَأَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَفِي زَمَانِ
عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
Artinya:
Dari Yazidbin Ruman, ia berkata," orang-orang pada zaman Umar salat
Tarawih sebanyak 23rakaat H.r. Malik, Al-Baihaqi.[29]
Hadis ini juga daif, karena
mursal,yaitu Yazid bin Ruman tidak sezaman dengan Umar bin Khatab. Hal
ini Dinyatakanhampir dalam setiap kitab hadis, di antaranya; Al-Hafizh
az-Zaila'i, An-Nawawi,dan al-Aini.[30]
Tarawih 27 rakaat Ubay bin Ka'ab
عَنْ
عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِرَفِيعٍ قَالَ كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍيُصَلِّى
بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِينَةِ عِشْرِينَ رَكْعَةً
وَيُوْتِرُبِثَلاَثٍ
Artinya:
Dari AbdulAziz bin Rufai, ia berkata, "Ubay BinKa'ab mengimami
orang-orang pada bulan Ramadhan di Madinah sebanyak dua puluhrakaat dan
berwitir dengan tiga rakaat. [31]
Sanad ini munqathi' (terputus),
karenatarikh wafat Ubay bin Ka'ab berbeda 100 tahun dari tarikh wafatnya
Abdul Azizbin Rufai. Artinya, keduanya tidak mungkin bertemu.
Tarawih Abdullah bin Mas'ud
قَالَ الأَعْمَشُ كَانَعَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ يُصَلِّى عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوَتِرُ بِثَلاَثٍ
Artinya: Al-A'masyberkata, "Abdullah bin Mas'ud salat tarawihdua puluh rakaat dan witir tiga rakaat". H.r. Ibnu Nashr
Sanad hadis ini munqathi', karena Al-A'masy tidak bertemudengan Abdulah bin Mas'ud. [32]
Kesimpulan
Salat malam ataupun salat Tarawih 20rakaat baik dengan 1 atau 3 rakaat witir, hadis-hadisnya daif dan tidak bolehdiamalkan.
Tarawih 39 rakaat
عَنْ
قَيْسِ بْنِ دَاوُدَقَالَ أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ فِي زَمَنِ
عُمَرَ بْنِ عَبْدِالْعَزِيزِ وَ أَبَانِ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّونَ سِتًّا
وَ ثَلاَثِينَ رَكْعَةًوَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ رواه ابن أبي شيبة
Artinya:
Dari Qais bin Daud, iaberkata,"Aku menemui orang-orang di Madinah pada
jaman Umar bin Abdul Aziz danAban bin Abu Usman, mereka salat 36 rakaat
dan witir 3 rakaat". H.r. IbnuAbu Syaibah[33]
Tarawih 41 rakaat
قَالَ صَالِحٌ مَوْلَىالتَّوْأَمَةِ أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةًيُوتِرُونَ مِنْهَا بِخَمْسٍ
Shalih maula Tauamah berkata,"Akumenemui orang-orang sedang melaksanakan salat 41 rakaat yang witirnya 5rakaat". [34]
Hadis ini daif karena Shalih bin Nabhanat-Tauamah rawi yang mukhtalith (pikun).[35]
Tarawih 47 rakaat
عَنِ
الْحَسَنِ بْنِ عُبَيِدِاللهِ قَالَ كَانَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ
اْلأَسْوَدِ يُصَلِّي بِنَا فِيرَمَضَانَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ
بِسَبْعٍ رواه ابن أبي شيبة
Artinya:
Darial-Hasan bin Ubaidillah, ia berkata,"Abdurrahman bin Al-Aswad
pernah salatmengimami kami pada bulan ramadan dengan 40 rakaat dan witir
7 rakaat". H.r.Ibnu Abu Syaibah.[36]
Keterangan
Salat
Tarawih dengan 39, 41, dan 47rakaat bukan amaliah Nabi, bukan juga
merupakan amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat termaksud ini
tidak (ed) dapat diamalkan.
Kesimpulan
__MCE_ITEM__1. Hadis-hadistentang rakaat tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) statusnya daif.
__MCE_ITEM__2. Melaksanakan tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) tidak sesuaidengan sunah Nabi saw.
[1]Lihat,H.r. Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:39; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra,II:499; Ishaq bin Rahawaih, al-Musnad, III:711
[2]Lihat,Ahkam al-Quran al-Jashash, V:365
[3]Lihat,Musnad al-Imam Ahmad, V : 172
[4]Lihat, Fathul Bari, IV : 314. No. 2010
[5]Lihat, ShahihMuslim, I:298
[6]Lihat, Shahihal-Bukhari, 1997: 396. No. hadis 2.013,
[7]Lihat, Shahih al-Bukhari, hal. 225, No. hadis 1.147,
[8]Lihat, Fathul Bari, IV:254
[9]Lihat, Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah, II:35
[10]
Hadisini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamus Shagir,
I:190. Selain riwayat di atas masih terdapatriwayat-riwayat lain yang
semakna tetapi terdapat sedikit perbedaan lapal,yaitu dua riwayat Ibnu
Hiban di dalam Shahih Ibnu Hibban, IV: 110 dan111, No 2.540 dan
No.2.541; Abu Ya'la, Musnad Abu Ya'la al-Mushili,III:336,337, No 1.801
dan 1.802; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah,II:138, No. 1.070;
ath-Thabrani, al-Mu'jamul Ausath, IV: 440-441,No.3743 dan 3745, dan
Ahmad, Fathur Rabani, V:15
[11] Lihat,Nailul Authar, III:62
[12]
Lihat, alBaihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:496, ath Thabrani, al-Mu'jam
al-Kabir,XI:393, al-Mu'jam al-Ausath, I: 444 & VI: 210; Ibnu Abi
Syaibah, al-Mushannaf,II:285-286. Semuanya dari sahabat Ibnu Abbas r.a.
[13] Lihat, TahdzibulKamal,XX : 147; al-Kamil Fi Du'afa ar-Rijal, I : 239; al-Istidzkar, V :156
[14] Lihat, as-Sunan al-Kubra,II:496
[15] Rawi yang disebut tsiqah tsabt (kredibel dan kuat)lebih unggul dari pada rawi yang hanya disebuttsiqah (kredibel) saja.
[16] Lihat, Syifaal-Alil,I:173
[17] Lihat, al-'Ilalwa Ma'rifatur Rijal, II:24
[18] Lihat, Dirasatfil Jarhi wat Ta'dil, hal. 271
[19] Lihat, TahdzibulKamal,XXXII:173; Tahdzibut Tahdzib, XI:340; Mizanul I'tidal, IV:430).
[20] Lihat, as-Sunanul Kubra, II:496, No. hadis 4.392.
[21] Lihat, al-Mushannaf, II:284, No. hadis 7.671
[22] Lihat, TaqributTahdzib,II:563, No. rawi 6.672
[23] Lihat, TaqributTahdzib,II:673, No. rawi 8.017
[24] Lihat, al-Mushannaf, II:285
[25] Lihat, al-Mushannaf,II : 90 No. 1
[26] Lihat, as-Sunanul Kubra, II:496
[27] Lihat, al-Mushannaf, II:285
[28] Lihat, al-Mushannaf, IV:260
[29]Lihat, Al-Muwattha', I:138, as-Sunanul Kubra, II : 496
[30]Lihat,
Al-Hafizh az-Zaila'i , Nasbur Rayah II:154, An-Nawawi, al-Majmu' Syarh
al-Muhaddzab, IV:33, dan al-Aini, Umdatul Qari V:357.
[31]Lihat, Tuhfahal-Ahwadzi, III: 528
[32]Lihat,Tuhfatul Ahwadzi, III: 2
[33]Lihat,al-Mushannaf, II:285
[34]Lihat,Al-Fathur Rabbani V:18
[35]Lihat, TaqributTahdzib, I:252, No. rawi 2.970
[36]Lihat,al-Mushannaf,II:285