Kitab 9 Imam

FREE DOWNLOAD KITAB HADITS 9 IMAM (KUTUBUT TI'S'AH) DILENGKAPI TEKS ARAB DAN TERJEMAH INDONESIA . MUDAH DOWNLOADNYA DAN BACA PETUNJUK INSTALNYA

FREE DOWNLOAD KITAB HADITS 9 IMAM (KUTUBUT TI'S'AH) DILENGKAPI TEKS ARAB DAN TERJEMAH INDONESIA


DOWNLOAD KITAB HADITS 9 IMAM
  
BACA DULU PETUNJUKNYA SUPAYA ANTUM BERHASIL PROSES INSTALNYA :


Langkah pertama silahkan Antum download dulu kitab 9 Imam (kutubut tis'ah) :

LINK   No.1 DOWNLOAD GRATIS DI SINI : Download Kitab.Hadits.9.Imam
 
Langkah kedua silahkan Antum download dulu kode 9 hadits.

LINK  No. 2 DOWNLOAD GRATIS KODENYA DI SINI : Download kode hadits 9 Imam


TATA CARA INSTAL KITAB 9 IMAM ( KUTUBUT TIS'AH)

Setelah Antum selesai download sebelum menginstal software Kitab.Hadits.9.Imam  silahkan Rubah dulu Setingan waktu di komputer Antum ke setingan tahun 2009. Kalau setingan waktu komputer tidak Antum seting  ke setingan tahun 2009 maka software  Kitab.Hadits.9.Imam tidak akan jalan atau tidak akan bisa di buka. Dan kalau Antum mau membuka software Kitab.Hadits.9.Imam  pastikan dulu waktu di komputer Antum setingan waktu tahun 2009. Hari, Tanggal dan Bulan tidak perlu di seting. Cukup seting waktu komputer Antum tahun nya saja ke Setingan Tahun 2009. Perhatikan gambar di bawah ini.



 
 klik Kitab.Hadits.9.Imam

Lalu klik Instal dengan klik setup-sms.exe

Lalu Klik Lanjutkan

 
Lalu Klik Lanjutkan



Lalu Klik Lanjutkan

  
Lalu Klik Lanjutkan

 Lalu Klik Lanjutkan


Lalu Klik Instal

Tunggu proses Instal sampai selesai hasilnya seperti ini :

 

  
PERHATIAN : UNTUK MENJALANKAN PROGRAM INI ANTUM HARUS SETING DULU PENGATURAN WAKTU DI COMPUTER ANTUM  KE TAHUN 2009.
 
KALAU SETINGAN WAKTU COMPUTER ANTUM GA DI RUBAH KE TAHUN 2009 PROGRAM INI TIDAK AKAN JALAN DAN TIDAK AKAN BISA DI BUKA.
SEMOGA MENJADI AMLA SHALEH BAGI ANA DAN PEMBUAT SOFTWARE INI. AAMIIN.
INILAH KODE INSTAL Kitab.Hadits.9.Imam :
NAMA : Muslim
Alamat : Bumi Alloh yang luas
no hp : 6281311543690
SN : D6346A485D43
Reg Key : 1fb43dea33ac
Act key : 1c2cd3cfef89
CUKUP ANTUM COPY PASTE ATAU DOWNLOAD LANGSUNG LINK NYA
 Terdapat 62 ribu hadits lebih dari 9 kitab hadits (kutubut tis’ah) lengkap dengan teks Arab dan terjemah dalam bahasa Indonesia.
Seluruh hadits disajikan menyerupai buku digital yang nyaman. Setiap hadits dilengkapi diagram sanad, serta informasi dari perawi hadits tersebut.
Mendukung beberapa metode penomoran hadits yang telah dikenal secara luas (Al-Alamiyah, Fathul Bari, Syarah An-Nawawi, dll).
Setiap hadits yang ditampilkan (kecuali Musnad Ahmad) dilengkapi dengan derajat keshahihan hadits menurut ulama.
Berbagai sanad (jalan sampainya hadits) dari suatu hadits ditampilkan dalam bentuk diagram yang informatif.
Informasi dari perawi suatu hadits ditampilkan sehingga kita dapat lebih mudah mengenal perawi tersebut.
Statistik keberadaan perawi dalam sanad berbagai hadits dari setiap buku hadits ditampilkan dalam bentuk grafik yang informatif.
Terdapat pohon jalur sanad dari suatu hadits yang menampilkan “penggabungan” berbagai sanad dari hadits tersebut.
Teks arab dan latin (terjemah) dari setiap hadits dapat disalin (copy) dan ditempel (paste) ke aplikasi lain dengan mudah.
Pencarian atas hadits dapat dilakukan dengan mudah baik pada seluruh buku maupun pada buku tertentu. Hasil pencariannya juga dapat disaring.
Fasilitas Bookmark untuk menandai hadits dan memasukkannya ke dalam grup tertentu. Kita juga dapat memberikan catatan atas hadits yang dibuka.
Font yang digunakan pada teks arab dan latin dapat ditampilkan menggunakan berbagai font yang telah di-install pada komputer user sebelumnya.
Aplikasi akan secara otomatis memberikan pewarnaan untuk membedakan antara sanad, perawi, dan matan suatu hadits.
On-screen keyboard untuk mengetik huruf arab sehingga mempermudah user yang tidak menggunakan keyboard arab.
Perawi pada diagram sanad ditampilkan dengan warna yang berbeda sesuai klasifikasinya. Juga tersedia legend warna yang digunakan.

Wafatnya Sa'adz bin Mua'adz

Sa’ad bin Mu’adz r.a. (jenazahnya diiringi 70.000 malaikat)

Pada usia 31 tahun ia masuk Islam. Dan dalam usia 31 tahun ia pergi menemui syahidnya. Dan antara hari keislamannya sampai saat wafatnya, telah diisi oleh Sa’ad bin Muadz dengan karya-karya gemilang dalam berhakti kepada Allah dan Rasul-Nya… .
Lihatlah, Gambarkanlah dalam ingatan kalian laki-laki yang anggun berwajah tampan berseri-seri, dengan tubuh tinggi jangkung dan badan gemuk gempal …? Nab, itulah dia … !
Bagai hendak dilipatnya bumi dengan melompat dan berlari menuju rumah As’ad bin Zurarah, untuk melihat seorang pria dari Mekah bernama Mush’ab bin Umeir yang dikirim oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan guna menyebarkan tauhid dan Agama Islam di Madinah ….
Memang, ia pergi ke sana dengan tujuan hendak mengusir perantau ini ke luar perbatasan Madinah, agar ia membawa kembali Agamanya dan membiarkan penduduk Madinah dengan agama mereka
Tetapi baru saja ia bersama Useid bin Zurarah sampai ke dekat majlis Mush’ab di rumah sepupunya, tiba-tiba dadanya telah terhirup udara segar yang meniupkan rasa nyaman. Dan belum lagi ia sampai kepada hadirin dan duduk di antara mereka memasang telinga terhadap uraian-uraian Mush’ab, maka petunjuk Allah telah menerangi jiwa dan ruhnya.

KHILAFAH DAN DEMOKRASI

KHILAFAH DAN DEMOKRASI
Oleh : Shiddiq Amien

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tanggal 12 Agustus 2007 menggelar Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta. Konferensi yang diisi dengan orasi-orasi, khususnya dari tokoh-tokoh Hibut Tahrir dalam dan luar negri. Perhelatan itu digelar bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1428 H, yang merupakan tanggal berakhirnya kekhalifahan Islam, dimana pada tanggal tersebut Khilafah Utsmaniyyah dihapuskan oleh penguasa sekuler Turki. Kemal Ataturk, pada tahun 1924. Jargon yang selalu diusung HTI adalah " Khilafah is solution ".
Banyak pihak berasumsi bahwa dengan digelarnya konferensi tersebut, kondisi umat Islam Indonesia akan segera berubah drastis, khilafah akan langsung berdiri, dan syari'at Islam akan segera berlaku di seluruh Indonesia. Tapi tidak sedikit pula pihak yang skeptis dengan ide dan gagasan khilafah dengan membentuk satu kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di muka bumi. Mereka menilai ide khilafah tersebut adalah sebuah utopia atau ilusi, sebagai sebuah romantisme dan idealisasi sejarah belaka. Mereka mempertanyakan relevansi, kelayakan, dan viability ide tersebut di tengah realitas dunia muslim Indonesia dan internasional saat ini.

Istilah atau sebutan khalifah sudah diberikan pertama kali oleh Allah kepada Nabi Adam as, seperti disebutkan di QS. Al-Baqarah : 30. Lebih populer lagi pasca Nabi Muhammad saw. Dalam hadits yang diriwayatkan imam Al-Bukhari Nabi saw mengisyaratkan bahwa Bani Israel adalah sebuah bangsa yang secara terus menerus dibimbing oleh para nabi, setiap kali seorang nabi wafat Allah mengutus nabi pengganti, tapi sesudah Nabi Muhammad saw tidak akan ada lagi nabi, yang akan ada adalah para khalifah yang jumlahnya banyak. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah ra).
Para sejarawan membagi khilafah Islam menjadi empat masa :1) Khulafaur Rasyidin ( 632-661 M ); 2) Khilafah Bani Umayah ( 661-750 M); 3) Khilafah Bani Abasiyah ( 750-1517 M ); dan 4) Khilafah Utsmaniyyah ( 1517-1924 M ). Walhasil Khilafah Islam merupakan fakta sejarah yang pernah bertahan selama 13 abad, dan itu tidak bisa dipungkiri, sebuah usia yang sangat panjang untuk ukuran sebuah negara ideologis, yang wilayah kekuasaannya meliputi lebih dari setengah bagian dunia. Sistem khilafah pernah menjadi sebuah kekuatan besar yang sangat disegani, dan mempersatukan banyak negara dan bangsa dalam satu payung kekuasaan. Memang ada yang menilai bahwa kekhilafahan berakhir dengan wafatnya Nabi saw. Seperti pandangan kaum syi'ah, karena diyakini semua sahabat sepeninggal Nabi saw. murtad, kecuali hanya : Salman Al-Farisi, Al-Mikdad bin Al-Aswad, dan Abu Dzar al-Ghifari. Ada juga yang menyatakan bahwa kekhalifahan berakhir sampai khulafaur Rasyidin yang empat, karena selebihnya tidak dipilih berdasar syura, tapi lebih mirip kerajaan (monarkhi) yang turun temurun. Ada juga yang menilai kekhilafahan berakhir dengan jatuhnya khilafah Bani Abasiyah, karena setelah itu khilafah tidak lagi di tangan Bangsa Quresy.
Gagasan untuk menghidupkan kembali sistem khilafah nampaknya tidak pernah padam. Jamaluddin Al-Afghani pernah mengusung ide khilafah (politik) di Istambul dan khilafah (keagamaan) di Makkah. Demikian juga para pemikir Islam lainnya seprti Abdurahman Al-Kawakibi ( Suriah ), Abul 'Ala Al-Maududi ( Pakistan ), Taqi al-Din Al-Nabhani ( Palestina ) pendiri Hizbut Tahrir, dsb.

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan gabungan dari dua kata : yaitu Demos yang artinya rakyat, dan kratos yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi bermakna pemerintahan atau kekuatan rakyat ( power or strength of the people ). Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, yang dijalankan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat ( goverment of the people, by the people, and for the people ). DR. Abdul Wahab Al-Kiyali menyebutkan bahwa negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran, yaitu bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat, dan rakyatlah yang berdaulat. ( Mausu'atus siyasah II:756). DR. Hamid Mutawali menjelaskan : Demokrasi adalah perundang-undangan yang dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat, sedangkan kedaulatan sesuai dengan pengertiannya adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya ( Tandimatul Hukmi Fid Dualin Namiyyah, 1985). Dalam konsep Demokrasi, dinyatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan ( vox populi vox Dei ).

Abu A'la Al-Maududi membedakan antara " Kedaulatan Rakyat " dalam konsep demokrasi Barat ( western democracy ) dengan " Khilafah Rakyat " dalam konsep Islam. Dalam konsep Kedaulatan Rakyat, rakyat berdaulat atas segala-galanya dan menjadi tujuan akhir yang tertinggi, sedangkan Khilafah Rakyat berarti kedaulatan milik Allah, rakyat adalah khalifah yang dituntut melaksanakan ketentuan dan kemauan Allah. Pemerintah dan rakyat bersama-sama memenuhi kehendak dan tujuan Allah.
Konsep demokrasi menghendaki rakyatlah yang membuat undang-undang, menurut kemauannya masing-masing. Rakyat bebas sebebas-bebasnya menjalankan kehendaknya dan menentukan garis hidupnya. Pemerintah hanya berkewajiban untuk memenuhi apa yang dikehendaki rakyatnya. Dalam konsep Islam, menurut Maududi, rakyat menaati undang-undang yang telah digariskan oleh Allah lewat syari'at-Nya yang sempurna, potensi kreatif dan kebebasan melahirkan undang-undang tetap diakui, namun harus merujuk pada ketentuan-ketentuan universal syari'at. Dengan kata lain, Sumber Hukum dalam sistem demokrasi adalah Undang-Undang Dasar (UUD) yang dibuat oleh rakyat, sementara dalam sistem khilafah sumber hukum adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dari segi Azas, demokrasi azasnya adalah sekularisme ( pemisahan agama dari kehidupan publik ), sedang dalam sistem khilafah asasnya adalah akidah Islamiyyah yang mewajibkan menerapkan syariat Islam dalam segala bidang kehidupan. Disinilah letak perbedaannya, suara rakyat dalam demokrasi adalah absolut, sedangkan dalam sistem khilafah yang absolut adalah suara dan kemauan Allah, Konsekwensinya, menurut HAR. Gibb dalam Modern Trends in Islam, Vox Populi (Suara Rakyat) dalam pandangan Islam harus tunduk pada Vox Dei ( Suara Tuhan ) dan Vox Propethei ( Kemauan Nabi ).

Pihak-pihak yang tidak setuju dengan sistem khilafah sering berargumen dengan fakta sejarah, bahkan fragmentasi sejarah kekhilafahan, yang memang diwarnai dengan deviasi atau penyimpangan dari tuntunan syari'at, dengan terjadinya pembunuhan, perebutan kekuasan dengan pertumpahan darah. Atau mereka mengukur sistem khilafah dengan sistem demokrasi Barat. Sementara dalam realitanya sistem demokrasi yang konon mengharuskan penggunaan cara-cara damai ( non violence ) dan menjunjung tinggi HAM mengalami banyak sekali deviasi. Apa yang dilakukan AS dan sekutunya di Irak menghapus rezim otoriter dan mengakkan demokrasi tapi dengan cara barbar dan biadab, Kemenangan FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina yang menang secara mutlak dengan cara demokratis tapi kemudian tidak diakui, merupakan secuil contoh dari penyimpangan itu. Dari dua contoh kasus terakhir ini, nampak menjadi antagonistik, ketika mayoritas rakyat menghendaki penerapan syariat Islam, justru Negara-negara pengasong demokrasi yang keras menentangnya. Kalangan cendekiawan Muslim seperti Prof. Abdullah Ahmad Na'im asal Sudan dalam karyanya : Towards an Islamic Reformation menolak intervensi Negara dalam penerapan syari'at Islam, karena hal itu dinilai bertentangan dengan sifat dan tujuan syariat itu sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Syaria'h kata Na'im akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya bila diterapkan melalui Negara. Ia menekankan perlunya netralitas Negara terhadap agama dan pemisahan kelembagaan antara Islam dengan Negara. Pemikiran Na'im ini menjadi aneh, sebab beberapa perangkat hukum dalam syariat Islam meniscayakan campur tangan Negara, untuk mencegah terjadinya kekacauan. Dalam pelaksanaan hukum kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, warits, dan sebagainya rasanya sulit membayangkan Negara untuk tetap netral. Di Indonesia saja urusan pernikahan, zakat, haji, wakaf, dan sebagainya telah melibatkan campur tangan Negara, dan itu berjalan biasa-biasa saja. Banyak cendekiawan yang menolak sistem yang ditawarkan Islam dengan merelatiftak syari'ah sebagai produk fikiran manusia terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah yang tidak bisa lepas dari pengaruh ruang dan waktu, konteks historis, sosial, dan politik penafsirnya. Tapi dalam waktu yang bersamaan mereka malah mengabsolutkan dan mengidealkan HAM dan Demokrasi yang jelas-jelas itu produk pikiran manusia yang dipengaruhi oleh setting sosial-politik dan kerangka filosofis sekuler para Pencetusnya ? Wallahu A'lam bis showab.

SEJARAH DAN PROSES PENETAPAN SYARIAT TARAWIH

SEJARAH DAN PROSES PENETAPAN SYARIAT TARAWIH
oleh Amin Saefullah Muchtar

Beberapa minggu setelahperistiwa di Gua Hira, Nabi mendapat perintah shalat malam dengan turunnyasurat al-Muzammil ayat 1-11 (di antara ayatnya)

يَاأَيُّهَاالْمُزَّمِّلُ # قُمْ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
Hai orang yang berselimut(Muhammad). bangunlah (untuk salat) di malam hari kecuali sedikit(daripadanya). Q.s. Al-Muzammil:1-2.

KataAisyah, "Maka beliau dan para sahabatnya melaksanakan perintah itu setiapmalam hingga kaki-kaki mereka bengkak dan Allah menahan (belum menurunkan) ayatakhir dari surat itu (al-muzammil) selama 12 bulan. Kemudian Allah memberikankeringanan dengan menurunkan ayat terakhir dari surat itu (ayat 20). (Setelahturunnya ayat ke 20 al-Muzammil) salat itu hukumnya menjadi sunat (bagi kaummuslimin, namun tetap wajib hukumnya bagi Nabi saw)"[1] Ibnu Abas menegaskanbahwa selisih waktu turun antara ayat-ayat pertama dan terakhir pada surat ituselama 1 tahun.[2] DemikianNabi melaksanakan salat malam itu selama13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, yakni sejak tahun ke-40 (darikelahirannya) yang bertepatan dengan bulan Agustus 611 M, hingga tahun ke-53(dari kelahirannya) yang bertepatan dengan bulan April tahun 623 M. Dan selama itu, istilah shalat malam hanya disebut qiyamul laildan tahajjud, walaupun dilakukan dibulan Ramadhan.

SetelahNabi hijrah ke Madinah, dan baru menetap selama 17 bulan di Madinah, sejakRabi'ul Awwal hingga Sya'ban 2 H, salat malam terus dilakukan oleh Nabi dan istilahsalat ini masih qiyamul lail dan tahajjud. Namun setelah turunnya ayat 183-184al-Baqarah, yang turun padahari Kamis tanggal 28 Sya'ban tahun ke-2 H yang bertepatan dengan tanggal 23Pebruari 624 M, Nabi menyebut Istilah lain bagi shalat tersebut dengan ungkapanqiyamu ramadhan

مَنْ قَامَ رَمَضَانَإِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا

Selain menyebut dengan istilahbaru, Nabi pun menetapkan beberapa aturan pada salat malam di bulan Ramadhan ituyang sebelumnya tidak dilakukan, antara lain:

a. dikerjakan dengan berjama'ahatau munfarid. Hanya berjamaah lebih utama. Hal itu tampak jelas dari ajakandan pengumuman yang dilakukan beliau pada sore hari ketika ba'da ashar, kepadahalayak untuk berjamaah salat Tarawih.

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ لَمَّا كَانَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ إِعْتَكَفَرَسُولُ اللهِ فِى الْـمَسْجِدِ فَلَمَّاصَلَّى الـنَّبِيُّ صَلاَةَ العَصْرِمِنْ يَوْمِ اثْـنَـيْنِ وَعِشْرِينَ قَالَ : إِنَّا قَائِمُونَ اللَيْلَةَ إِنْشَاءَ اللهُ، مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ وَهِيَ لَيْلَةُثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ فَصَلاَّهَا الـنَّبِيُّجَمَاعَةً بَعْدَ العَتَمَةِ حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَانْصَرَفَ، فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًاوَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بَعْدَ صَلاَةِ العَصْرِيَوْمَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ ، فَقَالَإِنَّا قَائِمُونَ اللَّـيْلَةَ إِنْ شَاءَ الله ُ يَعْنِى لَيْلَةَ خَمْسٍوَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَقُمْفَصَلَّى بِالنَّاسِ حَتَّي ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَفَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ سِتٍّ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْفَلَمَّا كَانَ عِنْدَ صَلاَةِ العَصْرِ مِنْ يَوْمِ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَفَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ إِنْ شَاءَاللهُ يَعْنِى لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْقَالَ أَبُو ذَرٍّ فَـتَجَلَّدْنَالِلْقِيَامِ فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ e حَتَّى ذَهَبَثُلُـثَا اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى قُـبَّتِهِ فِى الْـمَسْجِدِ فَقُلْتُلَهُ إِنْ كُنَّا لَقَدْ طَمِعْنَا يَا رَسُولَ 
اللهِ أَنْ تَقُومَ بِنَا حَتَّىتُصْبِحَ، فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّإِنَّكَ إِذَا صَلَّيْتَ مَعَ إِمَامِكَ وَانْصَرَفْتَ إِذَا انْصَرَفَ كُتِبَلَكَ قُنُوتُ لَيْلَتِكَ رواه احمد

Dari Abu Dzar, ia berkata, "Tatlaka sepuluh hari terakhir Ramadhan,Rasulullah saw. itikaf di masjid, ketikasalat ashar pada hari ke 22, ia bersabda, 'Insya Allah kita akanberjamaah malam ini, siapa di antara kamu yang akan salat pada malam itusilahkan ia salat, yakni malam ke 23, kemudian Nabi salat malam itu denganberjamaah setelah salat isya sampai lewat sepertiga malam. Kemudianbeliau pulang. Pada malam ke 24, ia tidak berkata apapun dan tidak mengimami,pada malam ke 25 beliau berdiri setelah salat ashar, yaitu pada hari ke 24,kemudian bersabda, 'Kita akan berjamaah malam ini Insya Allah yakni pada malamke 25, Siapa pun yang mau ikut berjamaah silahkan' Kemudian ia mengimamiorang-orang sampai lewat sepertiga malam. Kemudian ia pulang. Tatkalamalam ke 26 ia tidak berkata apa pun dan tidak mengimami kami, tatkala malam ke27, beliau berdiri setelah salat ashar pada hari ke 26, kemudian berdiri danbersabda, 'Insya Allah kita akan berjamaah malam ini yakni pada malam ke 27,siapa yang akan mengikuti berjamaah silahkan 'Abu Dzar berkata, 'Maka kamiberusaha keras untuk ikut salat berjamaah itu, lalu Nabi saw. mengimami kamisampai lewat dua pertiga malam. Kemudian beliau pergi menuju Qubahnya dimasjid (karena sedang I'tikaf). saya berkata padanya, 'Bagaimana jika kamisangat menginginkan tuan mengimami kami sampai subuh. Beliau bersabda, 'WahaiAbu Dzar jika engkau salat beserta imammu, dan engkau selesai (salat) ketikaimam itu selesai, telah ditetapkan (pahala) untukmu karena panjangnya salatmupada malamku. H.r. Ahmad.[3]

Sikap seperti initidak pernah dilakukan oleh beliau selama 13 tahun di Mekah, termasuk padabulan Ramadhan. Demikian pula selama di Madinah di luar bulan Ramadhan sikapini tidak dilakukan oleh beliau.
b. dikerjakan pada awal, tengah, atau akhir malam. Hal iniberbeda dengan Ramadhan ketika di Mekah atau di luar bulan Ramadhan ketikasudah hijrah ke Madinah. Pada riwayat Al-Bukhari, Umar bin Khathab menyatakan:

وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَأَوَّلَهُ
Artinya : Dan orang-orangmelakukan (Tarawih itu) pada awal malam. H.r. Al-Bukhari.[4]

Keterangantersebut menunjukkan bahwa kebanyakan orang-orang melakukannya pada awal malam.
Dari sinilah kita mendapatkanadanya kaifiyat yang berbeda ketika shalat itu dilaksanakan di luar ramadhanyang populer dengan sebutan Tahajud dan witir serta yang dilakukan di ramadhanyang popoler dengan sebutan qiyamu ramadhan dan tarawih.
Adapun istilahtaraweh mulai muncul sejak pertengahan abad ke-1 H. Hal itu terbukti padajawaban Abu Hanifah(80 H - 150 H/699 M -767 M) ketika ditanya oleh muridnya bernama Abu Yusuftentang fi'il Umar (Lihat, Aujazul Masalik, II:293). Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwaistilah taraweh baru dikenal sejak abad ke-2 H.

Siapa Yang paling Tahu ShalatMalam Rasul
Yang paling mengetahui salatmalam Rasul adalah Aisyah, dibandingkan dengan para sahabat lainnya, karenaNabi sering melakukannya waktu bermalam di Aisyah. Ketika Ibnu Abas ditanyaoleh Sa'id bin Hisyam, ia berkata:

..أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَىأَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ بِوِتْرِ رَسُولِ اللهِ قَالَ: مَنْ؟ قَالَ: عَائِشَةُ, فَأْتِهَافَاسْأَلْهَا..
Maukah engkaukutunjukkan orang yang paling mengetahui dari antara penghuni bumi ini padawitir Rasulullah saw.? Saad bertanya,'Siapakah? Ibnu Abas menjawab,'Aisyah,maka datanglah kepadanya dan bertanyalah... [5]

Sehubungandengan itu apabila terjadi perbedaan pendapat pada salat malam Rasulullah saw.dengan para sahabatnya, maka riwayat Aisyah-lah yang harus didahulukan sebelumyang lainnya selama kedudukannya shahih, karena ia yang paling mengetahuitentang salat Malam Rasulullah saw. Karenaitu tidak mengherankan bila banyak di antara tabi'in yang bertanya kepadaAisyah tentang shalat malam Rasul, antara lain: Abdullah bin Syaqiq, Abdullahbin Abu Qais.

Jumlah dan Formasi Rakaat

Bagaimana bilangan dan format rakaat salat taraweh itu?Mengenai bilangan dan format rakaat dan ini, Ummul Mukminin Aisyah pernahditanya oleh Abu Salamah bin Abdurahman:

كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِصَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ، قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُاللهِ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِىغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْحُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْحُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً، قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُيَارَسُولَ اللهِ، أَ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّعَيْنَيَّ تَنَامُ وَلَمْ يَنَمْ قَلْبِي

Artinya: "Bagaimana (cara) salat Rasulullah saw. pada malam bulanRamadhan ? Ia (Aisyah) menjawab, 'Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulanRamadhan, (juga) pada bulan yang lainnya, dari sebelas rakaat. Beliau salatempat rakaat, dan engkau jangan bertanya tentang baik dan panjangnya, beliau salat(lagi) empat rakaat, dan jangan (pula) engkau bertanya tentang baik danpanjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat. Aisyah berkata, 'Aku bertanyawahai Rasulullah ! Apakah engkau tidur sebelum witir ? Beliau menjawab, 'Hai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur. H.r. Al-Bukhari, pada bab fadhlu man qamaramadhan.[6]

Hadis ini oleh Imam al-Bukhari ditempatkan pulapada Kitabut Tahajjud, bab
بَاب قِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّىاللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ
(Babsalat malam Nabi pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya) [7]

Dalam riwayat ini Aisyah menerangkan dengan tegasjumlah rakaat salat taraweh "sebelas". Kemudian ia memperinci, empat rakaat,empat rakaat dan tiga rakaat. Tetapi ia tidak menerangkan cara dan bacaan yangdibaca pada setiap rakaat, karena sudah dimaklumi oleh yang bertanya khususnyatentang arti rakaat dalam salat.

Yang jadi pokok persoalan, apakah format 4-4-3 yang ditegaskan Aisyahini merupakan ta'yin (kemestian) atau takhyir (pilihan). Untuk fi ghairihi (diluar Ramadhan) format ini bukan ta'yin, karena ditemukan format lain yang pernah dilakukan oleh Nabi, sebagaimana keterangan Aisyah sendiri juga sahabatlainnya, antara lain
· 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 1 = 11 cara inidisebut witir dengan 1 rakaat

قَالَتْ عَائِشةُ كَانَ رَسُولُاللهِ يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةًيُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ رواه مسلم
Artinya:Aisyah ra. Berkata, "Rasulullah saw. salat sebelas rakaat. Beliau salam setiapdua rakaat dan witir dengan satu rakaat." H.r. Muslim

· 2 + 2 + 2 + 2 + 3 = 11 cara ini disebutwitir dengan 3 rakaat
عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ قَالَسَأَلْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَعَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ عَنْ صَلاَةِرَسُولِ اللهِ بِاللَّيْلِ فَقَالاَثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا ثَمَانٍ وَيُوتِرُ بِثَلاَثٍ وَرَكْعَتَيْنِبَعْدَ الْفَجْرِ رواه ابن ماجة
Artinya: Dari Amir as-Sya'bi, iaberkata, "Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin 'Umar ra.tentang salat malam Rasulullah saw., maka keduanya berkata, 'Salat Rasulullahpada malam hari tiga belas rakaat, antara lain delapan rakaat dan witir tigarakaat, dan dua rakaat setelah fajar'." H.r.Ibnu Majah

Sedangkan untuk fi Ramadhan (di bulan Ramadhan), hemat kamiformat ini adalah ta'yin, karena tidak ditemukan format lain yang dilakukanoleh Nabi pada bulan Ramadhan, selain keterangan Aisyah. Sedangkan Aisyah adalahorang yang lebih tahu keadaan Nabi waktu malam. Kata Ibnu Hajar:

مَعَ كَوْنِ عَائِشَةَأَعْلَمَ بِحَالِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لَيْلاً مِنْ غَيْرِهَا
Di samping Aisyah adalah yangpaling tahu keadaan Nabi di waktu malam daripada istri Nabi lainnya. [8]

Selainketegasan Aisyah bahwa Nabi saw. tidak pernah salat Tarawih lebih dari 11 rakaat dengan format 4-4-3, dapat diambilkesimpulan pula bahwa parasahabat pun demikian, sebab para sahabat adalah makmum-makmumnya. Oleh karenaitu apabila dikatakan bahwa terdapat sahabat yang berbeda darinya tentulahharus ditunjukan dalilnya yang kuat. Karena itu Syekh al-Albanimenyatakan bahwa keterangan Aisyah tersebut sesuai dengan keterangan Jabir danAisyah sendiri yang menerangkan peristiwa salat tarawih Nabi secara berjamaahselama tiga malam di awal Ramadhan. [9]

قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ فِي شَهْرِرَمَضَانَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَأَوْتَرَ فَلَمَّا كَانَتِ الْقَابِلَةُإِجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ فَلَمْ نَزَلْ فِيهِ حَتَّىأَصْبَحْنَا ثُمَّ دَخَلْنَا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ إِجْتَمَعْنَاالباَرِحَةَ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ تُصَلِّيَ بِنَا فَقَالَ إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ
Artinya:Jabir bin Abdulah telah berkata, "Rasulullah saw. Salat mengimami kami delapanrakaat pada malam Ramadhan dan beliau melakukan witir. Maka ketika malamberikutnya kami berkumpul dan berharap beliau akan keluar lagi, dan kami terusmenerus di situ sampai pagi, kemudian kami masuk dan kami berkata kepadanya,'Wahai Rasulullah, kami berkumpul di mesjid malam tadi dan kami berharap andamengimami kami, beliau bersabda, Saya khawatir dianggap wajib atas kalian.'" [10]

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النًّبِيَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى الثَّانِيَةَفَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ أَوِالرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللهِ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِإِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ وَذلِكَ فِيرَمَضَانَ متفق عليه

Artinya:Dari Aisyah, (ia berkata), "Bahwasanya Rasulullah saw. salat di mesjid, danorang-orang pun ikut salat berjamaah dengannya. Kemudian beliau salat pada harikedua (dari Ramadhan), dan orang-orang pun semakin banyak dan berkumpul padahari kedua atau ke empat (untuk ikut berjamaah). Kemudian (hari selanjutnya)Rasulullah saw. tidak keluar menemui mereka (untuk salat). Ketika masuk waktu subuh beliau bersabda, 'Aku melihat apa yang telah kamu kerjakan, tidak adayang menghalangiku untuk keluar menemui kalian semua selain aku khawatir (salatitu) diwajibkan atas kamu, dan itu pada bulan ramadan". Muttafaq 'Alaih. [11]

Adakah format lain yang dilakukan oleh Nabi pada bulan Ramadhan selain keteranganAisyah yang tegas itu?
Status Hadis Tarawih Lebih 11 Rakaat

Pertanyaan
Bukankah terdapat katerangan-keteranganlain baik berupa amaliyah Nabi maupun para sahabat tentang tarawih lebih dari11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan47 rakaat)?

Jawaban
Apabila keterangan-keterangan itusahih, maka hal itu benar adanya. Namun karena status hadisnya daif, maka hal itu tidak benar adanya. Keteranganyang dimaksud adalah sebagai berikut:

Tarawih Nabi 20Rakaat +witir

عَنِابْنِعَبَّاٍسقَالَ: كَانَالنَّبِيُّصيُصَلِّىفِيشَهْرِرَمَضَانَفِيغَيْرِجَمَاعَةٍبِعِشْرِينَرَكْعَةًوَالْوِتْرِ.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,"Nabi saw. salat pada bulan Ramadan tanpa berjamaah dua puluh rakaat dan(ditambah) witir." H.r. AlBaihaqi, ath Thabrani, Ibnu Abi Syaibah.[12]

Keterangan:
Hadis ini daif karena semua sanadnya melalui seorang rawi dengan kunyahAbu Syaibah. Nama lengkapnya Ibrahim bin Usman bin Khuwaisati Al-Absiy (seorangmaula Al-Absiy) Abu Syaibah Al-Kufi Qadi Wasith.
Mu'awiyah bin Shalih mengatakan dari Yahya binMain, ia berkata, "Ia Daif". Imamal- Bukhari berkata, "Sakatuu 'anhu" (para ulama hadis meninggalkanhadisnya)." Abu Daud berkata, "Dha'iful Hadits." At-Tirmidzi berkata, "Munkaral-hadits." An-Nasai dan Abu Bisyr Ad-Dulabi berkata, "Matruk al-Hadits."Abu Hatim berkata, "Da'if al-hadits, Sakatuu 'anhu, dan para ulamameninggalkan hadisnya." [13]

Tarawih 20 rakaat Zaman Umar
عَنْ يَزِيْدَ بْنِخُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانُوْا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَكَانُوْايَقْرَأُونَ بِالمِئَينَ وَكَانُوْا يَتَوَكَّؤُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِعَثْمَانَ مِنْ شِدَّةِ القِيَامِ رواه البيهقي

Artinya: Dari Yazid bin Khushaifah dariAs-Saib bin Yazid, ia berkata, "Orang-orang salat malam pada masa Umar binKhatab r.a pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat, ia berkata, 'Mereka membacadengan miin (surat-surat yang lebih dari seratus ayat) dan mereka bersandarpada tongkat-tongkatnya pada masa Usman r.a, karena terlalu lama berdiri. H.r. Al-Baihaqi. [14]

Hadis ini diriwayatkan melaluiYazid bin Khushaifah. Menurut al-Albani, dalam periwayatan Ibnu Khushaifah,terdapat idhtirab (inkonsistensi). Terkadang ia meriwayatkan (jumlahrakaat Qiyam Ramadhan) duapuluh satu rakaat, dan terkadang iameriwayatkan duapuluh tiga rakaat. Disamping itu, Al-Albani beralasan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, dalam komentarnyatentang Yazid, mengatakan bahwa ia (Yazid) seorang munkarul hadits. [15]

Sanggahan Terhadap al-Albani
Penilaianal-Albani terhadap hadis Yazid telah ditanggapi oleh Syekh Ismail al-Ansharidalam kitabnya berjudul Tashhih Hadis Salatit Tarawih 'Isyrina Rak'atan warRaddu 'Ala al-Albani fi Tadh'ifihi. Tanggapan tersebut kami ringkas menjadidua bagian:

A.Sanggahan secara umum
Tidak adaseorang pun yang memungkiri bahwa salat Tarawih duapuluh rakaat itu merupakanamalan yang diterima masyarakat luas. Menurut Ibnu Abdil Barr, hadis tentangsalat Tarawih duapuluh rakaat itu adalah shahih, yaitu berasal dari Ubay binKa'ab tanpa ada shahabat yang menentangnya." Sedangkan at-Tirmidzi dalamkitabnya Sunan al-Tirmidzi, berkata: "Mayoritas para ulama mengamalkan riwayatdari Umar, Ali dan shahabat-shahabat Nabi saw lainnya yang salat Tarawihduapuluh rakaat. Inilah pendapat Sufyan al-Tsauri, Ibn al-Mubarak, danal-Syafi'i. Bahkan al-Syafi'i menambahkan: "Demikianlah yang aku ketahui diMekkah. Mereka salat dengan duapuluh rakaat."

Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid,berkata, "Imam Malik, dalam salah satu pendapatnya, Imam Abu Hanifah, Imamal-Syafi'i, Imam Ahmad, dan Imam Abu Dawud memilih salat qiyam Ramadhan(Tarawih) dengan duapuluh rakaat selain salat witir."
Menurut Ibn Abdal-Barr: "Inilah pendapat jumhur ulama. Dan ini pula pendapat yang kami pilih." Demikian al-Hafizh Ibn al-Iraqi mengutipnya dalam kitab Tharh al-Tatsrib.Selanjutnya, Ibn al-Iraqi berkata, "Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam AbuHanifah, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Jumhur ulama. Pendapat tersebut jugatelah diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah dalam kitabnya al-Mushannaf dari Umar, Ali,Ubay, Syutair bin Syakal, Ibnu Abu Mulaikah, al-Harits al-Hamdani, dan Abual-Bukhturi."
Imam Ibnu Taimiyah, dalam kitabnya al-Fatawa,berkata, "Hadis yang sahih menyatakan bahwa Ubay bin Ka'ab mengimami parashahabat dalam salat malam pada bulan Ramadhan dengan duapuluh rakaat dan witirtiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa itu adalah sunnah (berasaldari Nabi saw). karena Ubay saat itu mengimami jamaah yang terdiri dari kaummuhajirin dan kaum anshar. Dan ternyata tidak ada seorang pun dari mereka yangmemprotesnya."
Dalam kitab Majmu'ah al-Fatawa al-Najdiyyahterdapat sebuah keterangan bahwa Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Wahhabmemberikan jawaban ketika ditanya tentang jumlah rakaat salat Tarawih. Beliaumenjawab bahwa Umar ra telah mengumpulkan para shahabat yang lainnya agarbermakmum pada Ubay bin Ka'ab. Karena itu mereka salat dengan duapuluh rakaat.
Di samping itu masih banyak lagiketerangan-keterangan lain yang menunjukan bahwa para ulama salaf dan khalaftelah menerima adanya penambahan rakaat Tarawih lebih dari sebelas rakaat. Jikatidak ada pembuktian otentisitas hadis Yazid bin Khushaifah kecuali dengankesepakatan para ulama diatas, maka hal itu sudah cukup sebagai dalil ataskeshahihan hadis tersebut. Dan kita pun tidak usah lagi mempermasalahkansanadnya. Sebab para ulama pun telah menerima isi dan kandungan hadis itu.
B.Sanggahansecara khusus berkaitan dengan Yazid bin Khushaifah
Yazid binKhushaifah adalah seorang tabi'i yang masyhur. Imam Ahmad telah menilai tsiqahdalam riwayat al-Atsram yang berasal dari padanya. Demikian pula Abu Hatim,an-Nasa'i dan Ibnu Sa'd. mereka sependapat dengan Imam Ahmad dalam menilaiYazid sebagai orang tsiqah. Yahya bin Ma'in berkata: "Ibnu Khushaifah adalahorang tsiqah dan hujjah. Imam Malik dan Imam-Imam lainnya menjadikan riwayatnyasebagai hujjah." Sedangkan Ibnu Hibban memasukan Yazid ke dalam al-Tsiqah. Untuklebih lengkapnya mengenai kredibilitas Yazid ini, silahkan lihat kitab Tahdzibal-Kamal. Karya al-Hafizh Abu al-Hajjaj al-Mizzi, juga dalam kitab karyaal-Hafizh Ibnu Hajar, yaitu: Tahdzib al-Tahdzib dan Hady al-Sari. Adapunriwayat al-jiri dari Abu Dawud bahwa Imam Ahmad mengritik Yazid bin Khushaifahsebagai Munkar al-Hadsit (Hadisnya disebut Hadis munkar), sebagaimana yangdikutip oleh Al-Albani, maka kami sanggah disini dengan komentar al-Hafizh IbnHajar dalam Hadyi al-Sari ketika menyebutkan riwayat ini. Beliau berkata, "Kataini –yaitu Munkar al-Hadis- dikemukan oleh imam Ahmad pada orang-orang yangsemasa dengan Yazid tetapi hadisnya gharib (asing). Hal itu diketahui setelahdiadakan penelitian." Kemudian Ibnu Hajar melanjutkan, "Imam Malik dan imam-imamlainnya menjadikan Riwayat Ibnu Khusaifah sebagai hujjah."

Dari keterangan al-Hafizh IbnuHajar ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa komentar Imam Ahmad berupamunkar al-Hadits tidak menunjukkan atas kecacatan seorang rawi dalamperiwayatannya. Tetapi komentar ini ditunjukan bagi orang yang meriwayatkanHadis-hadis secara menyendiri dari rawi-rawi semasanya. Menurut al-Dzahabidalam kitabnya Mizanul I'tidal, ketika menyebutkan biografi Ali bin al-Madini,bahwa seorang rawi yang tsiqah dan hafizh, apabila meriwayatkan Hadis-hadissecara menyendiri dan rawi-rawi lainnya, maka itu lebih tinggi dan lebihsempurna tingkatannya. Periwayatan tersebut, lanjut al-Dzahabi, menunjukanbahwa ia adalah seorang rawi yang paling adil dalam menukil ilmu Hadissekaligus menghimpunnya. Padahal pada saat yang sama, rawi-rawi lainnya tidakmeriwayatkan Hadis tersebut, sebab mereka tidak mengetahuinya. Kecuali jika diaterbukti membuat kekeliruan dan diduga membuat riwayat tersebut sehingga diasaja yang mengetahuinya. Kemudianal-Dzahabi melanjutkan, "Perhatikanlah, pada masa awal islam, para sahabat Nabisaw, mulai yang yunior sampai yang senior, semuanya meriwayatkan Hadis secarasendiri-sendiri. Apakah kita katakan bahwa hadis riwayat mereka itu tidak dapatdijadikan hujjah ? Begitu juga para tabi'in, masing-masing dari mereka memilikiriwayat Hadis tertentu yang tidak dimiliki oleh yang lainnya, "Demikianal-Dzahabi.

Sebagaimanayang diketahui bahwa dalam hadis Tarawih, Yazid bin Khushaifah tidak melakukankekeliruan. Dia juga tidak meriwayatkan hadis tersebut secara sendiri,sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.
Adapunal-Dzahabi dalam kitabnya al-Mizan mencantumkan nama Yazid bin Khushaifah, halitu tidak menunjukan kedhaifan Ibnu Khushaifah seperti yang dituduhkan olehal-Albani. Karena dalam akhir kitab al-Mizan itu, adz-Dzahabi menyatakan, "Padadasarnya isi kitab al-Mizan itu mengenai rawi-rawi yang dhaif, tetepi disituterdapat rawi-rawi yang tsiqat. kami tuturkan rawi-rawi itu untuk membelamereka Atau dengan kata lain, komentar tentang rawi-rawi itu tidak dapatmempengaruhi kredibilitas mereka sehingga mereka menjadi lemah."

Karenanya,Anda dapat melihat pernyataan adz-Dzahabi ketika menuturkan biografi Ja'far binIyas al-Wasithi, salah seorang rawi yang tsiqah. Dia berkata: "Ibnu 'Adiy dalamkitabnya al-Kamil fi Dhu'afa al-Rijal mengangap Ja'far sebagai rawi yang tidakbaik." Sedangkan mengenai biografi Hammad bin Abi Sulaiman, Al-Dzahabimengatakan: "Jika Ibnu 'Adiy tidak mencantumkan Hammad dalam kitabnya al-kamil,maka aku pun tidak mau menuturkannya." Mengenai biografi Tsabit al-Bunani,menurut al-Dzahabi, Tsabit adalah tsabit (tsiqah) sesuai dengan namanya. JikaIbnu 'Adiy tidak menyebutkan nama Tsabit dalam kitabnya, maka aku pun tidakakan menuturkannya," Tentang biografi Hammad bin Hilal, seorang ulamaterkemuka, dia mengatakan: "Biografi Humaid tercantum dalam al-Kamil Ibn 'Adiy,karenanya aku pun menuturkannya. Jika beliau tidak menyebutkannya, makamenurutku Humaid adalah hujjah." Mengenai bigrafi Uwais al-Qarni,al-Dzahabi berkata: "jika al-Bukhari tidak mengatagorikan Uwais kedalamkelompok rawi yang dhaif, maka aku pun sama sekali tidak akan menyebutkannya.Sebab Uwais itu termasuk para wali Allah yang shalih." Sedangkan mengenaibiografi al-Hafizh Abd al-Rahman bin Abi Hatim, al-Dahabi berkata: "Aku tidakakan menyebutkan biografi ??? jika Abu al-fadhl al-Sulaimani tidakmenuturkannya. Dan Abu al-Fadhl itu, dalam menguraikan biografi Ibn Abu Hatim,ternyata memandangnya buruk sekali."

Al-Dzahabimenulis sebuah risalah yang khusus berbicara tentang tema ini. Pada permulaanrisalah tersebut, beliau berkata: "Di dalam kitabku, Mizan al-I'tidhal, Akutelah mencantumkan banyak nama-nama rawi yang tsiqat yang dijadijan hujjah olehImam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam-imam yang lainnya, karena merekarawi-rawi yang namanya tercantum dalam kitab-kitab jarh (yang memuat rawi-rawiyang lemah). Rawi-rawi yang lainnya yang aku cantumkan disini, bukan karenamereka itu dhaif, melainkan agar mereka itu diketahui biografinya (darikitab-kitab yang lainnya). Dan masih ada rawi yang shahih yang dipermasalahkandalam kitabku, hal itu tidak mempengaruhi dirinya." Kemudian al-Dzahabimenuturkan satu-persatu rawi-rawi tsiqat yang dipermasalahkan tetapi tidak mempengaruhiketsiqatan mereka.
Kami kira, al-Albani juga mengakui bahwa Imamal-Bukhari dan Imam Muslim serta Imam-imam yang lainnya, semuanya menjadikanriwayat Yazid bin Khushaifah sebagai hujjah.

Adapunkomentar al-Albani bahwa riwayat Ibnu khushaifah itu idhthirab (tidakkonsisten), terkadang ia mengatakan ثلاثوعشرين (dua puluh tiga rakaat) danterkadang ia mengatakan: إحدى وعشرين (dua puluh satu rakaat), maka kami dapatkatakan bahwa idhthirab itu tidak mempengaruhi apa-apa selagi redaksi yangberbeda itu dapat dikompromikan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar dalamkitabnya Fath al-Bari mengkompromikan dua hadis diatas, bahwa perbedaan tentangrakaat yang lebih dari dua puluh itu dikembalikan pada perbedaan tentang rakaatsalat witir. Maka witir itu terkadang dilakukan dengan satu rakaaat terkadangdilakukan dengan tiga rakaat. Demikian Ibnu Hajar.

Inilah yang ingin kami sampaikan pada al-Albani,bahwa perbedaan para rawi dalam riwayat Muhammad bin Yusuf itu lebih banyakdaripada perbedaan yang terjadi pada riwayat Ibnu Khushaifah.
ImamMalik, dalam kitabnya al-Muwatha, meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Yusuf,dari al-Sa'ib bin Yazid, bahwa dia berkata:

أَمَرَعُمَرُ بْنُالْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدّارِيَّ أنْ يّقُوْمَا لِلناَّسِبِإِحْدَى عَشْرَةَرَكْعَةً
Artinya:"Umar bin al-Khattab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim al-Dari untuk mengimamisalat para sahabat lainnya dengan sebelas rakaat."

Muhammad bin Nashr al-Marwazi, dalam kitabnya QiyamRamadhan, meriwayatkan hadis dari jalur Muhammad bin Ishaq, dia berkata, telah menceritakan kepadaku Muhammad binYusuf, dari al-Sa'ib, dia berkata: ثلاث عشرة (tiga belas rakaat). Sedangkan dalam kitabnya al-Mushannaf, Abd al-Razzaqmeriwayatkan Hadis tersebut dari Dawud bin Qais dan rawi lainnya dari Muhammadbin Yusuf, dari al-Sa'ib, dia berkata:إحدى وعشرين (dua puluh saturakaat).
Apabila perbedaan riwayat tentang jumlah rakaatdijadikan sebagai standar idhthirab (ketidak konsistenan) atau tidaknya, makariwayat Muhammad bin Yusuf itu lebih tepat dikategorikan sebagai Hadis yangidhthirab dibanding riwayat Ibnu Khushaifah.

Akan tetapi metode ulama dalam mengompromikanbeberapa riwayat hadis,selagi hal itu mungkin, merupakan suatu keharusan. Karenanya, al-Hafizh IbnuHajar dalam kitabnya Fath al-Bari mengomentari metode kompromi antar riwayatyang saling bertentangan itu sebagai berikut: "Mengompromikan riwayat-riwayatyang berbeda di atas itu mungkin sekali, yaitu dengan menyesuaikannyaberdasarkan kondisi masing-masing. kemungkinan adanya perbedaan riwayat-riwayattersebut dikarenakan bacaan salat, ada yang panjang dan ada juga yang pendek. Jikabacaan salatnya panjang, maka jumlah rakaat salatnya sedikit. Begitu pulasebaliknya. Jika bacaan salatnya pendek, maka jumlah rakaatnya banyak. Danpemahaman inilah yang dipakai oleh al-Dawudi (pengikut Mazhab Dawud al-Zhahiri)dan lainnya."
Sedangkan al-Hafizh Ibn Abd al-Barr dan Abu Bakrbin al-Arabi mempunyai pendapat lain. Pada riwayat Malik (yaitu tentang jumlahsebelas rakaat), menurut kedua imam di atas, ada kekeliruan dari Malik sendiri.Yang benar adalah jumlah duapuluh satu rakaat. Komentar Ibn Abd al-Barr dan Ibnal-Arabi itu perlu dikritik, Riwayat Malik di atas itu diriwyatkan pula oleh Abd al-Aziz binMuhammad dan di cantumkan oleh Sa'id bin Manshur dalam kitabnya al-Sunan, dandiriwayatkan juga oleh Yahya bin Sa'id al-Qathan dan dicantumkan oleh Abu Bakrbin Abi Syaibah dalam kitabnya al-Mushannaf. Kedua riwayat pendukung di atas(yaitu riwayat Abd al-Aziz dan Yahya) berasal dari Muhammad bin Yusuf dariSa'ib dengan redaksiثلاث عشرة (tiga belas rakaat). Malik juga meriwayatkanhadis dengan redaksi tersebut dari Muhammad bin Yusuf. Maka dengan alasan ini,Malik tidak keliru seperti yang dituduhkan oleh Ibn Abdil Barr dan Abu Bakr Ibnal-Arabi di atas.

Adapun ungkapan al-Albani mengenai riwayat AbdurRazzaq, bahwa: "Jika Abd al-Razzaq menerima Hadis dari rawi antara dia denganMuhammad bin Yusuf, maka illah (cacat yang mempengaruhi otentisitas Hadis) daririwayat di atas terletak pada Abd al-Razzaq. Sebab Abd al-Razzaq, meskipundikenal sebagai orang tsiqah, hafizh, dan penulis buku yang masyhur, tetapi diamenderita buta mata pada akhir usianya. Sehingga riwayatnya berubah. SedangkanAbd al-Razzaq diatas itu, tidak diketahui apakah terjadi sebelum dia terkenapenyakit buta atau sesudahnya?".
Statemenal-Albani diatas dapat disanggah bahwa rawi antara Abd al-Razzaq dan Muhammadbin Yusuf adalah al-Imam al-Jalil Dawud bin Qais. Beliau dinilai tsiqah olehal-Syaf'i, Ahmad bin Hanbal, Ibn Ma'in, Ali bin al-Madini, Abu Zur'ah, AbuHatim Ibn Sa'd, al-Nasa'i, al-Qa'nabi, dan Ibn Hibban, sebagaimana diungkapkanoleh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Tahdzib al-Tahdzib.

Tanggapandari Kami

Darisanggahan di atas ada beberapa hal yang perlu kami tanggapi;
Pertama:ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad.
Didalamkitabnya al-'Ilal wa Ma'rifatur Rijal, Imam Ahmad sering menggunakanungkapan munkarul hadits dalam menilai seorang rawi. Secara umum ungkapantersebut menunjukkan jarh (celaan, kritikan) terhadap rawi yang daif. [16]sebagai contoh, rawi Salamah bin Wardan dinilai munkarul hadits olehImam Ahmad. [17]Ungkapan ini menunjukkan bahwa Salamah bin Wardan rawi yang sangat daif,tidak bisa dipakai hujjah, menurut Imam Ahmad.
Namunsecara khusus ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad itu ditujukan pulakepada rawi yang tsiqah (kredibel). Maka dalam hal ini, ungkapan seperti itumempunyai dua pengertian;
a) apabilaperiwayatan seorang rawi yang tsiqat (kredibel) tidak mukhalafah (menyalahi)dengan periwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel, kuat), maka ungkapanitu menunjukkan taffarud (rawi tersebut sendirian dalam meriwayatkan hadis).
b) apabilaperiwayatan rawi yang tsiqat (kredibel) itu mukhalafah (menyalahi) denganperiwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel, kuat), maka ungkapan itumenunjukkan bahwa rawi tersebut mukhalafah dengan rawi yang autsaq. [18] Jadi rawi tersebut dikritikbukan dilihat dari aspek kepribadiannya, namun dari segi periwayatannya yangmukhalafah dengan rawi lain yang lebih tsiqat.
Karenaitu, untuk memahami ungkapan munkarul hadits dalam pengertian inidiperlukan i'tibar, yaitu penelusuran terhadap berbagai hadis dalam temayang sama yang diriwayatkan oleh rawi yang dinilai demikian oleh Imam Ahmad.
Darikriteria khusus inilah kita dapat menilai kredibilitas Yazid bin Abdullah binKhusaifah.
Dalammenilai Yazid bin Abdullah bin Khushaifah, Imam Ahmad memberikan dua penilaian;
[a]menurut Abu Bakar al-Atsram, Ahmad menyatakan tsiqat,
[b]menurut Abu Daud, Ahmad menyatakan munkarul hadits. [19]

Berdasarkankriteria khusus di atas, kedua penilaian ini tidak ta'arudh (bertentangan),karena penilaian tsiqat ditujukan kepada kepribadian Yazid. Sedangkan munkarulhadits ditujukan kepada periwayatannya yang mukhalafah dengan rawi lain yanglebih tsiqat, sebagai berikut:
Padariwayat Yazid bin Khushaifah dari as-Saib bin Yazid diterangkan bahwaorang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab pada bulan Ramadhan dengan 20Rakaat. Sedangkan pada riwayat Muhammad bin Yusuf, juga dari as-Saib bin Yazidditerangkan bahwa salat itu 11 rakaat

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوْسُفَ بْنِ أُخْتِالسَّائِبِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُالخَطَّابِ أُبَيَ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِبِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Artinya: Dari Muhamad bin Yusuf binsaudara perempuan as-Saib, (ia berkata), dari as-Saib bin Yazid, sesungguhnyaia berkata, "Umar memerintah Ubay bin Ka'ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimamiorang-orang sebelas (11) rakaat... H.r. Al-Baihaqi[20]

Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibahditerangkan
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوْسُفَأنّ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَعَلَى أُبَيٍّ و تَمِيمٍ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَقْرَأُونَبِالْمِئَيْنِ يعني فِي رَمْضَانَ رواهابن أبي شيبة
Artinya: Dari Muhamad bin Yusuf,(berkata), "Bahwasanya as-Saib bin Yazid mengabarkan, 'Bahwa Umar mengumpulkanorang-orang untuk bermakmum pada Ubay (bin Ka'ab) dan Tamim (ad-Dari) sebelas(11) rakaat. Mereka membaca al-miin ayat lebih dari seratus ayat, yakni dibulan Ramadhan". H.r. Ibnu Abu Syaibah[21]

Dengan demikian terjadiperbedaan antara keterangan Yazid dengan Muhamad bin Yusuf, padahal keduanyamenerima keterangan itu dari orang yang sama, yakni as-Saib bin Yazid.Keterangan siapa yang layak untuk diterima? Menurut kami, keterangan Muhamadyang lebih layak dijadikan pegangan, dengan alasan:
i) dilihat dari kekerabatan,Muhammad bin Yusuf lebih dekat dengan as-Saib, yaitu sebagai cucu sudaraperempuan as-Saib.
ii) Dilihat dari kredibilitas,Muhammad bin Yusuf, menurut Ibnu Hajar, seorang tsiqat tsabt[22] Sedangkan mengenai Yazid binKhushaifah, Ibnu Hajar menilainya tsiqat saja[23]
iii) Dilihat dari bentuk periwayatan,riwayat Muhamad menunjukkan sima' (menerima secara langsung darias-Saib), yakni kata akhbarahu (mengabarkan kepadanya). Sedangkanriwayat Yazid tidak menunjukkan sima' (tidak dapat dipastikan menerimasecara langsung dari as-Saib), yakni kata 'an (dari).
iv) Dilihat dari redaksi matan,riwayat Muhamad lebih sharih (jelas, tegas), yaitu [1] pelaksanaan salat11 rakaat ini diperintah langsung oleh Umar, [2] nama imamnya jelas (Ubay danTamim ad-Dari), [3] jumlah ayat yang baca jelas (200 ayat). Sedangkan padariwayat Yazid tidak ada kejelasan siapa yang memerintah salat 20 rakaat itu dansiapa imamnya. Keterangan yang ada hanya menyebut "Orang-orang salat malam padamasa Umar bin Khatab r.a pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat".
Dilihatdari keempat aspek di atas, kami berkesimpulan bahwa riwayat Yazid bertentangandengan riwayat yang lebih kuat, yakni Muhamad bin Yusuf. Dari sinilahkita dapat memahami bahwa munkarul hadits Imam Ahmad terhadap Yazid binKhushaifah itu merupakan jarh (celaan, kritikan), karena riwayat Yazidbertentangan dengan rawi yang lebih tsiqat.
Dengan demikian, hadis Yazid tentangsalat Tarawih sebanyak 20 rakaat tidak dapat diamalkan.
Sedangkanpernyataan bahwa "salat Tarawih duapuluh rakaat itu merupakan amalan yangditerima masyarakat luas" adalah helah (mendalili amal), bukan mengamalkandalil.
Selain riwayat Yazid, Tarawih 20 rakaatdiriwayatkan pula oleh Yahya bin sa'id

أَنَّ عُمَرَ أَمَرَ رَجُلاًيُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً رواه ابن أبي شيبة
Artinya: Dari Yahyabin Said, (berkata), "Sesungguhnya Umar memerintah seseorang untuk salat(Tarawih) berjamaah dengan orang-orang sebanyak dua puluh rakaat". H.r. IbnuAbu Syaibah.[24]

Namun hadis ini jugadaif, karena Yahya bin Said (bin Qais Al-Anshari), wafat tahun 143 H/760 M.,tidak sezaman dengan Umar bin Khatab, wafaf tahun 23 H/643 H. Dengan demikianterdapat selisih selama 120 tahun dari kewafatan Umar. Oleh karena itu, hadisini disebut mursal.
Tarawih20 rakaat Ali bin Abu Thalib
عَنْ أَبِي الحَسْنَاءِ أَنَّعَلِيًّا أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّى بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً
Artinya :Dari AbulHasna, bahwa Ali memerintah seseorang untuk mengimami mereka pada bulanRamadhan dengan dua puluh rakaat. H.r. Ibnu Abu Syaibah.[25]

Pada sanad ini terdapat kelemahan,yaitu Abul Hasna majhul (tidak dikenal). Hadis itu diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dengan sedikit perbedaan kisah[26].

Demikian pula sanad hadis ini lemah,bahkan karena dua sebab:
Pertama: Pada sanad hadis terdapat rawi bernamaAtha bin as-Saib. Ia mukhtalit (pikun).
Kedua:Terdapat rawi lain bernama Hamad binSyu'aib. Orang ini sangat daif. Al-Bukhari menjarahnya dengan ungkapan munkarulhadits dan terkadang dengan fihi nazhar.

Tarawih20 rakaat Ibnu Abu Mulaikah

Pada riwayat lain diterangkan bahwaIbnu Abi Mulaikah salat taraweh 20 Rakaat
عَنْ نَافِعِ بْنِ عُمَرَقَالَ كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَرَكْعَةً رواه ابن أبي شيبة
Artinya: Dari Nafibin Umar, ia berkata,"Ibnu Abi Mulaikah pernah salat bersama kami pada bulanRamadan 20 rakaat". H.r. Ibnu Abu Syaibah.[27]

Keterangan
Salat Tarawih dengan 20 rakaat inibukan amaliah Nabi, bukan juga merupakan amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat ini tidak dapat diamalkan.

Tarawih 21 rakaat

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَأَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمْضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَلَىتَمِيمٍ الدَّارِ عَلَى إِحْدَى وَ عِشْرِينَ رَكْعَةً يَقْرَأُونَ بِالْمِئَيْنِوَيَنْصَرِفُونَ عِنْدَ فُرُوعِ الْفَجْرِ
Artinya: Dari As-Saibbin Yazid, (ia berkata), "Bahwasanya Umar mengumpulkan orang-orang pada bulanRamadhan untuk bermakmum pada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari dengan dua puluhsatu rakaat Mereka membaca Al-miina ayat dan selesai menjelang fajar". H.r.Abdurazaq.[28]

Hadis ini diriwayatkanoleh rawi-rawi yang tsiqat, namun tetap tidak dapat diamalkan, sebab kasusnyasama seperti hadis Yazid bin Khushaifah. Bedanya hadis ini melalui rawi Qaisbin Daud, dari Muhamad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid. Sedangkan padariwayat Malik bin Anas dan Yahya Al-Qathan, keduanya menerima dari Muhamadbin Yusuf dari As-Saib, diterangkan 11 rakaat. Dengan demikian periwayatanQais bin Daud bertentangan dengan periwayatan Imam Malik dan Yahya al-Qathan.Sedangkan Imam Malik dan Yahya Al-Qathan lebih tsiqat daripada Daud bin Qais.

Tarawih23 rakaat

Zaman Umar bin Khatab
عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُمَانَأَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَفِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
Artinya: Dari Yazidbin Ruman, ia berkata," orang-orang pada zaman Umar salat Tarawih sebanyak 23rakaat H.r. Malik, Al-Baihaqi.[29]

Hadis ini juga daif, karena mursal,yaitu Yazid bin Ruman tidak sezaman dengan Umar bin Khatab. Hal ini Dinyatakanhampir dalam setiap kitab hadis, di antaranya; Al-Hafizh az-Zaila'i, An-Nawawi,dan al-Aini.[30]

Tarawih 27 rakaat Ubay bin Ka'ab

عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِرَفِيعٍ قَالَ كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍيُصَلِّى بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِينَةِ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوْتِرُبِثَلاَثٍ
Artinya: Dari AbdulAziz bin Rufai, ia berkata, "Ubay BinKa'ab mengimami orang-orang pada bulan Ramadhan di Madinah sebanyak dua puluhrakaat dan berwitir dengan tiga rakaat. [31]

Sanad ini munqathi' (terputus), karenatarikh wafat Ubay bin Ka'ab berbeda 100 tahun dari tarikh wafatnya Abdul Azizbin Rufai. Artinya, keduanya tidak mungkin bertemu.

Tarawih Abdullah bin Mas'ud
قَالَ الأَعْمَشُ كَانَعَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ يُصَلِّى عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوَتِرُ بِثَلاَثٍ
Artinya: Al-A'masyberkata, "Abdullah bin Mas'ud salat tarawihdua puluh rakaat dan witir tiga rakaat". H.r. Ibnu Nashr
Sanad hadis ini munqathi', karena Al-A'masy tidak bertemudengan Abdulah bin Mas'ud. [32]

Kesimpulan
Salat malam ataupun salat Tarawih 20rakaat baik dengan 1 atau 3 rakaat witir, hadis-hadisnya daif dan tidak bolehdiamalkan.

Tarawih 39 rakaat

عَنْ قَيْسِ بْنِ دَاوُدَقَالَ أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِالْعَزِيزِ وَ أَبَانِ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّونَ سِتًّا وَ ثَلاَثِينَ رَكْعَةًوَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ رواه ابن أبي شيبة
Artinya: Dari Qais bin Daud, iaberkata,"Aku menemui orang-orang di Madinah pada jaman Umar bin Abdul Aziz danAban bin Abu Usman, mereka salat 36 rakaat dan witir 3 rakaat". H.r. IbnuAbu Syaibah[33]

Tarawih 41 rakaat

قَالَ صَالِحٌ مَوْلَىالتَّوْأَمَةِ أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةًيُوتِرُونَ مِنْهَا بِخَمْسٍ
Shalih maula Tauamah berkata,"Akumenemui orang-orang sedang melaksanakan salat 41 rakaat yang witirnya 5rakaat". [34]
Hadis ini daif karena Shalih bin Nabhanat-Tauamah rawi yang mukhtalith (pikun).[35]

Tarawih 47 rakaat

عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيِدِاللهِ قَالَ كَانَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ اْلأَسْوَدِ يُصَلِّي بِنَا فِيرَمَضَانَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِسَبْعٍ رواه ابن أبي شيبة
Artinya: Darial-Hasan bin Ubaidillah, ia berkata,"Abdurrahman bin Al-Aswad pernah salatmengimami kami pada bulan ramadan dengan 40 rakaat dan witir 7 rakaat". H.r.Ibnu Abu Syaibah.[36]

Keterangan
Salat Tarawih dengan 39, 41, dan 47rakaat bukan amaliah Nabi, bukan juga merupakan amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat termaksud ini tidak (ed) dapat diamalkan.
Kesimpulan
__MCE_ITEM__1. Hadis-hadistentang rakaat tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) statusnya daif.
__MCE_ITEM__2. Melaksanakan tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) tidak sesuaidengan sunah Nabi saw.


[1]Lihat,H.r. Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:39; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra,II:499; Ishaq bin Rahawaih, al-Musnad, III:711
[2]Lihat,Ahkam al-Quran al-Jashash, V:365
[3]Lihat,Musnad al-Imam Ahmad, V : 172
[4]Lihat, Fathul Bari, IV : 314. No. 2010
[5]Lihat, ShahihMuslim, I:298
[6]Lihat, Shahihal-Bukhari, 1997: 396. No. hadis 2.013,
[7]Lihat, Shahih al-Bukhari, hal. 225, No. hadis 1.147,
[8]Lihat, Fathul Bari, IV:254
[9]Lihat, Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah, II:35
[10] Hadisini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamus Shagir, I:190. Selain riwayat di atas masih terdapatriwayat-riwayat lain yang semakna tetapi terdapat sedikit perbedaan lapal,yaitu dua riwayat Ibnu Hiban di dalam Shahih Ibnu Hibban, IV: 110 dan111, No 2.540 dan No.2.541; Abu Ya'la, Musnad Abu Ya'la al-Mushili,III:336,337, No 1.801 dan 1.802; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah,II:138, No. 1.070; ath-Thabrani, al-Mu'jamul Ausath, IV: 440-441,No.3743 dan 3745, dan Ahmad, Fathur Rabani, V:15
[11] Lihat,Nailul Authar, III:62
[12] Lihat, alBaihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:496, ath Thabrani, al-Mu'jam al-Kabir,XI:393, al-Mu'jam al-Ausath, I: 444 & VI: 210; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf,II:285-286. Semuanya dari sahabat Ibnu Abbas r.a.
[13] Lihat, TahdzibulKamal,XX : 147; al-Kamil Fi Du'afa ar-Rijal, I : 239; al-Istidzkar, V :156
[14] Lihat, as-Sunan al-Kubra,II:496
[15] Rawi yang disebut tsiqah tsabt (kredibel dan kuat)lebih unggul dari pada rawi yang hanya disebuttsiqah (kredibel) saja.
[16] Lihat, Syifaal-Alil,I:173
[17] Lihat, al-'Ilalwa Ma'rifatur Rijal, II:24
[18] Lihat, Dirasatfil Jarhi wat Ta'dil, hal. 271
[19] Lihat, TahdzibulKamal,XXXII:173; Tahdzibut Tahdzib, XI:340; Mizanul I'tidal, IV:430).
[20] Lihat, as-Sunanul Kubra, II:496, No. hadis 4.392.
[21] Lihat, al-Mushannaf, II:284, No. hadis 7.671
[22] Lihat, TaqributTahdzib,II:563, No. rawi 6.672
[23] Lihat, TaqributTahdzib,II:673, No. rawi 8.017
[24] Lihat, al-Mushannaf, II:285
[25] Lihat, al-Mushannaf,II : 90 No. 1
[26] Lihat, as-Sunanul Kubra, II:496
[27] Lihat, al-Mushannaf, II:285
[28] Lihat, al-Mushannaf, IV:260
[29]Lihat, Al-Muwattha', I:138, as-Sunanul Kubra, II : 496
[30]Lihat, Al-Hafizh az-Zaila'i , Nasbur Rayah II:154, An-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhaddzab, IV:33, dan al-Aini, Umdatul Qari V:357.
[31]Lihat, Tuhfahal-Ahwadzi, III: 528
[32]Lihat,Tuhfatul Ahwadzi, III: 2
[33]Lihat,al-Mushannaf, II:285
[34]Lihat,Al-Fathur Rabbani V:18
[35]Lihat, TaqributTahdzib, I:252, No. rawi 2.970
[36]Lihat,al-Mushannaf,II:285

Sejarah

SEJARAH

Download Biografi ahli hadits
Download SEJARAH NABI MUHAMMAD Istri-isti Nabi saw Siapa Saja Istri Nabi dan Mengapa Dinikahi? Bismillahirrahmanirrahiem. Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. Wash-shalatu Was-Salamu `alaa Sayyidil Mursalin. Wa ba`d, Dalam catatan sirah nabawiyah, ada sebelas orang wanita yang dinikahi oleh Rasulullah SAW, dua di antara mereka meninggal ketika Rasulullah SAW masih hidup sedangkan sisanya meninggal setelah beliau wafat. Nama-nama isteri beliau adalah: 1. Khodijah binti Khuwailid RA, ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Mekkah ketika usia beliau 25 tahun dan Khodijah 40 tahun. Dari pernikahnnya dengan Khodijah Rasulullah SAW memiliki sejumlah anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi semua anak laki-laki beliau meninggal. Sedangkan yang anak-anak perempuan beliau adalah: Zainab, Ruqoyyah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Rasulullah SAW tidak menikah dengan wanita lain selama Khodijah masih hidup. 2. Saudah binti Zam’ah RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun kesepuluh dari kenabian beberapa hari setelah wafatnya Khodijah. Ia adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang bernama As-Sakron bin Amr. 3. Aisyah binti Abu Bakar RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW bulan Syawal tahun kesebelas dari kenabian, setahun setelah beliau menikahi Saudah atau dua tahun dan lima bulan sebelum Hijrah. Ia dinikahi ketika berusia 6 tahun dan tinggal serumah di bulan Syawwal 6 bulan setelah hijrah pada saat usia beliau 9 tahun. Ia adalah seorang gadis dan Rasulullah SAW tidak pernah menikahi seorang gadis selain Aisyah. Dengan menikahi Aisyah, maka hubungan beliau dengan Abu Bakar menjadi sangat kuat dan mereka memiliki ikatan emosional yang khusus. Posisi Abu Bakar sendiri sangat pending dalam dakwah Rasulullah SAW baik selama beliau masih hidup dan setelah wafat. Abu Bakar adalah khalifah Rasulullah yang pertama yang di bawahnya semua bentuk perpecahan menjadi sirna. Selain itu Aisyah ra adalah sosok wanita yang cerdas dan memiliki ilmu yang sangat tinggi dimana begitu banyak ajaran Islam terutama masalah rumah tangga dan urusan wanita yang sumbernya berasal dari sosok ibunda muslimin ini. 4. Hafsoh binti Umar bin Al-Khotob RA, beliau ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah. Beliau menikahinya untuk menghormati bapaknya Umar bin Al-Khotob. Dengan menikahi hafshah putri Umar, maka hubungan emosional antara Rasulullah SAW dengan Umar menjadi sedemikian akrab, kuat dan tak tergoyahkan. Tidak heran karena Umar memiliki pernanan sangant penting dalam dakwah baik ketika fajar Islam baru mulai merekah maupun saat perluasan Islam ke tiga peradaban besar dunia. Di tangan Umar, Islam berhasil membuktikan hampir semua kabar gembira di masa Rasulullah SAW bahwa Islam akan mengalahkan semua agama di dunia. 5. Zainab binti Khuzaimah RA, dari Bani Hilal bin Amir bin Sho’sho’ah dan dikenal sebagai Ummul Masakin karena ia sangat menyayangi mereka. Sebelumnya ia bersuamikan Abdulloh bin Jahsy akan tetapi suaminya syahid di Uhud, kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada tahun keempat Hijriyyah. Ia meninggal dua atau tiga bulan setelah pernikahannya dengan Rasulullah SAW . 6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA, sebelumnya menikah dengan Abu salamah, akan tetapi suaminya tersebut meninggal di bulan Jumada Akhir tahun 4 Hijriyah dengan menngalkan dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal di tahun yang sama. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormati Ummu Salamah dan memelihara anak-anak yatim tersebut. 7. Zainab binti Jahsyi bin Royab RA, dari Bani Asad bin Khuzaimah dan merupakan puteri bibi Rasulullah SAW. Sebelumnya ia menikahi dengan Zaid bin Harits kemudian diceraikan oleh suaminya tersebut. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di bulan Dzul Qo’dah tahun kelima dari Hijrah. Pernikahan tersebut adalah atas perintah Alloh SWT untuk menghapus kebiasaan Jahiliyah dalam hal pengangkatan anak dan juga menghapus segala konskuensi pengangkatan anak tersebut. 8. Juwairiyah binti Al-Harits RA, pemimpin Bani Mustholiq dari Khuza’ah. Ia merupakan tawanan perang yang sahamnya dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syimas, kemudian ditebus oleh Rasulullah SAW dan dinikahi oleh beliau pada bulan Sya’ban tahun ke 6 Hijrah. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormatinya dan meraih simpati dari kabilhnya (karena ia adalah anak pemimpin kabilah tersebut) dan membebaskan tawanan perang. 9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA, sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni dan meninggal di sana. Ummu Habibbah tetap istiqomah terhadap agamanya. Ketika Rasulullah SAW mengirim Amr bin Umayyah Adh-Dhomari untuk menyampaikan surat kepada raja Najasy pada bulan Muharrom tahun 7 Hijrah. Nabi mengkhitbah Ummu Habibah melalu raja tersebut dan dinikahkan serta dipulangkan kembali ke Madinah bersama Surahbil bin Hasanah. Sehingga alasan yang paling kuat adalah untuk menghibur beliau dan memberikan sosok pengganti yang lebih baik baginya. Serta penghargaan kepada mereka yang hijrah ke Habasyah karena mereka sebelumnya telah mengalami siksaan dan tekanan yang berat di Mekkah. 10. Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA, dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang Khoibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimeredekakan serta dinikahinya setelah menaklukan Khoibar tahun 7 Hijriyyah. Pernikahan tersebut bertujuan untuk menjaga kedudukan beliau sebagai anak dari pemuka kabilah. 11. Maimunah binti Al- Harits RA, saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa’dah tahun 7 Hijrah pada saat melaksanakan Umroh Qadho. Dari kesemua wanita yang dinikahi Rasulullah SAW, tak satupun dari mereka yang melahirkan anak hasil perkawinan mereka dengan Rasulullah SAW, kecuali Khadijatul Kubra seperti yang disebutkan di atas. Namun Rasulullah SAW pernah memiliki anak laki-laki selain dari Khadijah yaitu dari seorang budak wanita yang bernama Mariah Al-Qibthiyah yang merupakan hadiah dari Muqauqis pembesar Mesir. Anak itu bernama Ibrahim namun meninggal saat masih kecil. Demikianlah sekelumit data singkat para istri Rasulullah SAW yang mulia, dimana secara khusus Rasulullah SAW diizinkan mengawini mereka dan jumlah mereka lebih dari 4 orang, batas maksimal poligami dalam Islam. Dari kesemuanya itu, umumnya Rasulullah SAW menikahi mereka karena pertimbangan kemanusiaan dan kelancaran urusan dakwah. Selain itu ada hikmah yang sangat mendalam di masa kini yaitu semakin banyaknya sumber-sumber ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan fiqih wanita, karena memang dari sanalah umumnya pelajaran Rasulullah SAW tentang wanita itu berasal. Seandainya Rasulullah SAW hanya beristrikan satu orang saja, maka kajian fiqih wanita sekarang ini akan menjadi sangat sempit karena sumbernya terbatas hanya dari satu orang. Namun alhamdulillah atas tadbir ilahi, dengan beristri sampai 11 orang, maka sumber itu menjadi cukup banyak. Dan purnalah Islam sebagai agama yang syamil mutakamil. Sedangkan tuduhan non muslim bahwa Rasulullah SAW adalah tukang kawin dan kemaruk dengan wanita adalah tuduhan yang sangat menjijikkan sekaligus menyesatkan, karena semuanya hanya dipenuhi dengan kebencian, kedegilan dan kebodohan yang akut serta mencerminkan penuduhnya sebagai tipe mengamat amatiran yang tidak pernah lengkap membaca sirah nabawiyah dengan sumber yang otentik. Semoga Allah menghancurkan angkara murka musuh-musuhnya dan menghinakan orang-orang yang menghina nabi-Nya di dunia ini dan di akhirat kelak, Amien Ya Rabbal `Alamien. 12. Mariyah al-Qibtiyah A. Dari Mesir ke Yastrib Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis. Rasulullah saw. mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam. Mereka pun menerirna ajakan tersebut. Rasulullah teläh menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid. B. Ibrahim bin Muhammad saw. Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah r.a. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia. Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah saw. dengan gembira. Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin tampak bersamaan dengan adanya pertemuan Rasulullah saw. dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah rnengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah SWT telah menegur lewat firman-Nya: “Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1) Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.” Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja. Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi saw. bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah saw. bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.” Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda, “Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.” Demikianlah keadaan Nabi saw ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah saw. mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’. C. Saat Wafatnya Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin. (Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)] Bookmark and Share