Sa’ad bin Mu’adz r.a. (jenazahnya diiringi 70.000 malaikat)
Pada usia 31 tahun ia masuk Islam. Dan dalam usia 31 tahun ia
pergi menemui syahidnya. Dan antara hari keislamannya sampai saat
wafatnya, telah diisi oleh Sa’ad bin Muadz dengan karya-karya gemilang
dalam berhakti kepada Allah dan Rasul-Nya… .
Lihatlah, Gambarkanlah dalam ingatan kalian laki-laki yang anggun
berwajah tampan berseri-seri, dengan tubuh tinggi jangkung dan badan
gemuk gempal …? Nab, itulah dia … !
Bagai hendak dilipatnya bumi dengan melompat dan berlari menuju rumah
As’ad bin Zurarah, untuk melihat seorang pria dari Mekah bernama
Mush’ab bin Umeir yang dikirim oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai utusan guna menyebarkan tauhid dan Agama Islam di Madinah
….
Memang, ia pergi ke sana dengan tujuan hendak mengusir perantau ini
ke luar perbatasan Madinah, agar ia membawa kembali Agamanya dan
membiarkan penduduk Madinah dengan agama mereka
Tetapi baru saja ia bersama Useid bin Zurarah sampai ke dekat majlis
Mush’ab di rumah sepupunya, tiba-tiba dadanya telah terhirup udara segar
yang meniupkan rasa nyaman. Dan belum lagi ia sampai kepada hadirin dan
duduk di antara mereka memasang telinga terhadap uraian-uraian Mush’ab,
maka petunjuk Allah telah menerangi jiwa dan ruhnya.
Demikianlah, dalam ketentuan taqdir yang mengagumkan, mempesona dan
tidak terduga, pemimpin golongan Anshar itu melemparkan lembingnya
jauh-jauh, lain mengulurkan tangan kanannya mengangkat bai’at kepada
utusan Rasulullah saw…..
Dan dengan masuk Islamnya Sa’ad, bersinarlah pula di Madinah mata
hari baru, Yang pada garis edarnya akan berputar dan beriringan qalbu
yang tidak sedikit jumlahnya, dan bersama Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyerahkan diri mereka kepada Allah Robbul’alamin . .
. !
Sa’ad telah memeluk Islam, memikul tanggung jawab itu dengan
keberanian dan kebesaran … Dan tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah,
maka rumah-rumah kediaman Bani Abdil Asyhal, yakni kabilah Sa’ad,
pintunya terbuka lebar bagi golongan Muhajirin, begitu pula semua harta
kekayaan mereka dapat dimanfa’atkan tanpa batas, pemakainya tidak perlu
rendah diri dan jangan takut akan disodori bon perhitungan.
Dan datanglah saat perang Badar ….Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengumpulkan shahabat-shahabatnya dari golongan Muhajirin dan
Anshar untuk bermusyawarah dengan mereka tentang urusan perang itu
dihadapkannya wajahnya yang mulia ke arah orang-orang Anshar, seraya
katanya: “Kemukakanlah buah fikiran kalian, wahai shahabat … !”
Maka bangkitlah Sa’ad bin Mu’adz tak ubah bagi bendera di atas tiangnya, katanva: -
“Wahai Rasulullah ! Kami telah beriman kepada anda, kami percaya dan mengakui bahwa apa yang anda bawa itu adalah hal yang benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami. Maka laksanakanlah terus, ya Rasulallah apa yang anda inginkan, dan kami akan selalu bersama anda … ! Dan demi Allah yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda menghadapkan kami ke lautan ini lalu anda menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun yang akan mundur, dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh esok pagi! Sungguh, kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan … ! Dan semoga Allah akan memperlihatkan kepada anda tindakan kami yang menyenangkan hati … ! Maka maulailah kita berangkat dengan berkah Allah Ta’ala… !”
“Wahai Rasulullah ! Kami telah beriman kepada anda, kami percaya dan mengakui bahwa apa yang anda bawa itu adalah hal yang benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami. Maka laksanakanlah terus, ya Rasulallah apa yang anda inginkan, dan kami akan selalu bersama anda … ! Dan demi Allah yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda menghadapkan kami ke lautan ini lalu anda menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun yang akan mundur, dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh esok pagi! Sungguh, kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan … ! Dan semoga Allah akan memperlihatkan kepada anda tindakan kami yang menyenangkan hati … ! Maka maulailah kita berangkat dengan berkah Allah Ta’ala… !”
Kata-kata Sa’ad itu muncul tak ubah bagai berita gembira, dan wajah
Rasul pun bersinar-sinar dipenuhi rasa ridla dan bangga serta bahagia,
lalu katanya kepada Kaum Muslimin: -
“Marilah hita berangkat dan besarkan hati halian karena Allah telah
menjanjihan kepadaku salah satu di antara dua golongan! … Demi Allah,…
sungguh seolah-olah tampak olehhu hehancuran orang-orang itu … !”
(al-Hadits)
Dan di waktu perang Uhud, yakni ketika Kaum Muslimin telah
cerai-berai disebabkan serangan mendadak dari tentara musyrikin, maka
takkan sulit bagi penglihatan mata untuk menemukan kedudukan Sa’ad bin
Mu’adz ….
Kedua kakinya seolah-olah telah dipakukannya ke bumi di dekat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertahankan dan membelanya
mati-matian, suatu hal yang agung, terpancar dari sikap hidupnya ….
Kemudian datanglah pula saat perang Khandak, yang dengan jelas membuktikan kejantanan Sa’ad dan kepahlawanannya ….
Perang Khandak ini merupakan bukti nyata atas persekongkolan dan siasat licik yang dilancarkan kepada Kaum Muslimin tanpa ampun, yaitu dari orang-orang yang dalam pertentangan mereka, tidak kenal perjanjian atau keadilan.
Perang Khandak ini merupakan bukti nyata atas persekongkolan dan siasat licik yang dilancarkan kepada Kaum Muslimin tanpa ampun, yaitu dari orang-orang yang dalam pertentangan mereka, tidak kenal perjanjian atau keadilan.
Maka tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para
shahabat hidup dengan sejahtera di Madinah mengabdikan diri kepada Allah
saling nasihat-menasihati agar mentaati-Nya serta mengharap agar
orang-orang Quraisy menghentikan serangan dan peperangan, kiranya
segolongan pemimpin Yahudi secara diam-diam pergi ke Mekah lalu
menghasut orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah sambil memberikan
janji dan ikrar akan berdiri di samping Quraisy bila terjadi peperangan
dengan orang-orang Islam nanti.
Pendeknya mereka telah membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik
itu, dan bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat peperangan. Di
samping itu dalam perjalanan pulang mereka ke Madinah, mereka berhasil
pula menghasut suatu suku terbesar di antara suku-suku Arab yaitu
kabilah Gathfan dan mencapai persetujuan untuk menggabungkan diri dengan
tentara Quraisy.
Siasat peperangan telah diatur dan tugas serta peranan telah
dibagi-bagi. Quraisy dan Gathfan akan menyerang Madinah dengan tentara
besar, sementara orang-orang Yahudi, di waktu Kaum Muslimin mendapat
serangan secara mendadak itu, akan melakukan penghancuran di dalam kota
dan sekelilingnya!
Maka tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui
permufakatan jahat ini, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan.
Dititahkannyalah menggali khandak atau parit perlindungan sekeliling
Madinah untuk membendung seubuan musuh. Di samping itu diutusnya pula
Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah kepada Ka’ab bin Asad pemimpin
Yahudi suku Quraidha untuk menyelidiki sikap mereka yang sesungguhnya
terhadap orang yang akan datang, walaupun antara mereka dengan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenamya sudah ada beberapa perjanjian
dan persetujuan damai.
Dan alangkah terkejutnya kedua utusan Nabi, karena ketika bertemu
dengan pemimpin Bani Quraidha itu, jawabnya ialah: -”Tak ada persetujuan
atau perjanjian antara Kami dengan Muhammad… !”
Menghadapkan penduduk Madinah kepada pertempuran sengit dan
pengepungan ketat ini, terasa amat beuat bagi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. OLeh sebab itulah beliau memikirkan sesuatu siasat
untuk memisahkan suku Gathfan dari Quraisy, hingga musuh yang akan
menyerang, bilangan dan kekuatan mereka akan tinggal separoh.
Siasat itu segera beliau laksanakan yaitu dengan mengadakan
perundingan dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan agar mereka
mengundurkan diri dari peperangan dengan imbalan akan beroleh sepertiga
dari hasil pertanian Madinah. Tawaran itu disetujui oleh pemimpin
Gathfan, dan tinggal lagi mencatat persetujuan itu hitam di atas putih
….
Sewaktu usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun, karena
menyadari tiadaiah sewajarnya ia memutuskan sendiri masalah tersebut.
Maka dipanggilnyalah para shahabatnya untuk merundingkannya. Terutama
Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, buah fikiran mereka amat
diperhatikannya, karena kedua mereka adalah pemuka Madinah, dan yang
pertama kali berhak untuk membicarakan seal tersebut dan memilih langkah
mana yang akan diambil
Rasulullah menceritakan kepada kedua mereka peristiwa perundingan
yang berlangsung antaranya dengan pemimpin-pemimpin Gathfan. Tak lupa ia
menyatakan bahwa langkah itu diambilnya ialah karena ingin
menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan pengepungan
dahsyat.
Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan:
“Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat anda sendiri, ataukah wahyu yang dititahkan Allah … ?” Ujar Rasulullah: “Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-tuan! Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah tuan-tuan secara serentak dan mendesak tuan-tuan dari segenap jurusan.
“Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat anda sendiri, ataukah wahyu yang dititahkan Allah … ?” Ujar Rasulullah: “Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-tuan! Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah tuan-tuan secara serentak dan mendesak tuan-tuan dari segenap jurusan.
Maka saya bermaksud hendak membatasi kejahatan mereka sekecil mungkin.. !”
Sa’ad bin Mu’adz merasa bahwa nilai mereka sebagai laki-laki dan orang-orang beriman, mendapat ujian betapa juga coraknya.
Sa’ad bin Mu’adz merasa bahwa nilai mereka sebagai laki-laki dan orang-orang beriman, mendapat ujian betapa juga coraknya.
Maka katanya: -
‘Wahai Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala, tiada mengabdikan diri pada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sehutir kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli …. Sekarang, apakah setelah kami beroleh kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan-Nya dengan anda dan dengan Agama itu, lain kami harus menyerahkan harta kekayaan kami …? Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah, kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali pedang … hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka… !”
‘Wahai Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala, tiada mengabdikan diri pada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sehutir kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli …. Sekarang, apakah setelah kami beroleh kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan-Nya dengan anda dan dengan Agama itu, lain kami harus menyerahkan harta kekayaan kami …? Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah, kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali pedang … hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka… !”
Tanpa bertangguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah
pendiriannya dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Gathfan bahwa
sahabat-sahabatnya menolak rencana perundingan, dan bahwa beliau
menyetujui dan berpegang kepada putusan shahabatnya….
Berselang beberapa hari, kota Madinah mengalami pengepungan ketat.
Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada
dipaksa orang, disebabkan adanya parit yang digali sekelilingnya untuk
menjadi benteng perlindungan bagi dirinya. Kaum Muslimin pun memasuki
suasana perang. Dan Sa’ad bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya
sambil berpantun:
“Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya perang Maut berkejaran menyambut ajal datang menjelang … !”
“Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya perang Maut berkejaran menyambut ajal datang menjelang … !”
Dalam salah satu perjalanan kelilingnya nadi lengannya disambar anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang musyrik.
Darah menyembur dari pembuluhnya dan segera ia dirawat secara darurat untuk menghentikan keluamya darah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membawanya ke mesjid, dan agar didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekatnya selama perawatan.
Darah menyembur dari pembuluhnya dan segera ia dirawat secara darurat untuk menghentikan keluamya darah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membawanya ke mesjid, dan agar didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekatnya selama perawatan.
Sa’ad, tokoh muda mereka itu dibawa oleh Kaum Muslimin ke tempatnya
di mesjid Rasul. Ia menunjukkan pandangan matanya ke arah langit, lain
mohonnya: -
“Ya Allah, jika dari peperangan dengan Quuaisy ini masih ada yang
Engkau sisakan, maka panjangkanlah umurku untuk menghadapinya! Karena
tak ada golongan yang diinginkan untuk menghadapi mereka daripada kaum
yang telah menganiaya Rasul-Mu,telah mendustakan dan mengusirnya… !
Dan seandainya Engkau telah mengakhiri perang antara kami dengan
mereka, jadikanlah kiranya musibah yang telah menimpa diriku sekarang
ini sebagai jalan untuk menemui syahid … ! Dan janganlah aku dimatikan
sebelum tercapainya yang memuaskan hatiku dengan Bani Quraidha … !”
Allah-lah yang menjadi pembimbingmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz … !
Karena siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana
demikian, selain dirimu …?
Dan permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang dideritanya
menjadi penyebab yang mengantarkannya ke pintu syahid, karena sebulan
setelah itu, akibat luka tersebut ia kembali menemui Tuhannya. Tetapi
peristiwa itu terjadi setelah hatinya terobatil terhadap Bani Quraidha.
Kisahnya ialah setelah orang-orang Quraisy merasa putus asa untuk
dapat menyerbu kota Madinah dan ke dalam barisan mereka menyelinap rasa
gelisah, maka mereka sama mengemasi barang perlengkapan dan alat
senjata, lalu kembali ke Mekah dengan hampa tangan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat, mendiamkan
perbuatan orang-orang Quraidha, berarti membuka kesempatan bagi
kecurangan dan pengkhianatan mereka terhadap kota Madinah bilamana saja
mereka menghendaki, suatu hal yang tak dapat dibiarkan berlalu! Oleh
sebab itulah beliau mengerahkan shahabat-shahabatnya kepada Bani
Quraidha itu. Mereka mengepung orang-orang Yahudi itu selama 25 hari.
Dan tatkala dilihat oleh Bani Quraidha bahwa mereka tak dapat melepaskan
diri dari Kaum Muslimin, mereka pun menyerahlah dan mengajukan
permohonan kepada Rasulullah yang beroleh jawaban bahwa nasib mereka
akan tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz. Di masa jahiliyah
dahulu, Sa’ad adalah sekutu Bani Quraidha ….
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim beberapa shahabat untuk
membawa Saad bin Mu’adz dari kemah perawatannya di mesjid. Ia dinaikkan
ke atas kendaraan, sementara badannya kelihatan lemah dan menderita
sakit.
Kata Rasulullah kepadanya: “Wahai Sa’ad! Berilah keputusanmu terhadap
Bani Quraidha … !” Dalam fikiran Sa’ad terbayang kembali kecurangan
Bani Quraidha yang berakhir dengan perang Khandak dan nyaris
menghancurkan kota Madinah serta penduduknya. Maka ujar Sa’ad: —
“Menurut pertimbanganku, orang-orang yang ikut berperang di antara
mereka hendaklah dihukum bunuh. Perempuan dan anak mereka diambil jadi
tawanan, sedang harta kekayaan mereka dibagi-bagi … !” Demikianlah,
sebelum meninggal, hati Sa’ad telah terobat terhadap Bani Quraidha….
Luka yang diderita Sa’ad setiap hari bahkan setiap jam kian bertambah
parah …. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang menjenguknya. Kiranya didapatinya ia dalam saat terakhir dari
hayatnya. Maka Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di atas
pangkuannya, lain berdu’a kepada Allah, katanya: “Ya Allah, Sa’ad telah
berjihad di jalan-mu ia telah membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi
kewajibannya. Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau
menerima ruh… !”
Kata-kata yang dipanjatkan Nabi itu rupanya telah memberikan
kesejukan dan perasaan tenteram kepada ruh yang hendak pergi. Dengan
susah payah dicobanya membuka kedua matanya dengan harapan kiranya wajah
Rasulullah adalah yang terakhir dilihatnya selagi hidup ini, katanya:
“Salam atasmu, wahai Rasulullah… ! Ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa
anda adalah Rasulullah!”
Rasulullah pun memandangi wajah Sa’ad lalu katanya: “Kebahaggaan bagimu wahai Abu Amr … !”
Berkata Abu Sa’id al-Khudri: — “Saya adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad · … Dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat”.
Rasulullah pun memandangi wajah Sa’ad lalu katanya: “Kebahaggaan bagimu wahai Abu Amr … !”
Berkata Abu Sa’id al-Khudri: — “Saya adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad · … Dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat”.
Musibah dengan kematian Sa’ad yang menimpa Kaum Muslimin terasa berat
sekali. Tetapi hiburan mereka juga tinggi “ilainya, karena mereka
dengar Rasul mereka yang mulia bersabda: “Sungguh, ‘Arasy Tuhan Yang
Rahman bergetar dengan berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz … !
sumber : http://www.kisah.web.id/sahabat/saad-bin-muadz.html
Sa’ad bin Abi Waqash r.a. menceritakan bahwa ketika Sa’ad bin Mu’adz
wafat setelah perang Khandaq, Rasulullah Saw tergesa-gesa keluar, sampai
memutuskan tali sandal seseorang dan tidak membetulkannya, tidak
melilitkan kembali selendangnya yang terurai, dan tidak menyapa seorang
pun. Orang-orang bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau mengabaikan
kami?” Beliau menjawab, “Aku khawatir malaikat mendahului kita untuk
memandikan jenazah Sa’ad bin Mu`adz, seperti halnya ia mendahului kita
memandikan jenazah Hanzhalah.” (Riwayat Abu Na’im)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa pada perang Khandaq, mata Sa’ad
bin Mu’adz terkena tombak yang dilemparkan Hayyan bin Arqah. Tenda untuk
Nabi Saw. telah dipasang di dalam masjid karena beliau akan segera
kembali dari perang. Sewaktu Nabi Saw. pulang dari Khandaq, beliau
melepas baju besinya, kemudian mandi. Ketika beliau sedang mengibaskan
debu di kepalanya, Jibril datang lalu berkata, “Engkau telah melepas
baju besimu. Demi Allah, jangan melepasnya dulu, temuilah mereka!” Nabi
Saw bertanya, “Ke mana?” Jibril menunjuk ke arah perkampungan Band
Quraizhah. Rasulullah Saw segera menuju ke sana. Mereka bertempur untuk
menegakkan keadilan atas Sa’ad. Rasulullah berkata, “Sungguh aku akan
menghukum mereka, mengobarkan peperangan, menawan para wanita dan
anak-anak, juga membagi harta kekayaan mereka.” Kemudian Sa’ad berdoa,
“Ya Allah, Engkau Maha Tahu, tidak satu pun yang begitu ingin aku
perangi karena Engkau selain kaum yang mendustakan dan mengusir
Rasul-Mu. Ya Allah, aku sungguh yakin bahwa Engkau telah mengobarkan
peperangan di antara kami dan mereka. Jika masih ada peperangan dengan
kaum Quraisy, beri aku kesempatan untuk memerangi mereka karena Engkau.
Jika Engkau mengobarkan peperangan, izinkan aku mengikutinya dan biarkan
aku mati di sana.” Malam itu, peperangan dengan Bani Quraizhah
berkobar, akhirnya Sa’ad bin Muadz wafat karenanya. (Diriwayatkan
Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Dikisahkan pula bahwa pada saat perang Ahzab (Khandaq), mata Sa’ad
bin Mu`adz terkena tombak sehingga mengucurkan banyak darah. Sa’ad
berdoa, “Ya Allah, jangan cabut nyawaku agar mataku tetap terbuka sampai
di tempat Bani Quraizhah.” Lalu ia menahan pembuluh darah di matanya,
tetapi tidak keluar setetes pun darah, sampai kaum muslimin memerangi
Bani Quraizhah. Seusai perang, pembuluh darah di mata Sa’ad bin Mu`adz
pecah, dan ia menemui ajalnya. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Jabir
r.a.)
Rasulullah Saw pernah bersabda tentang Sa’ad bin Mu’adz, “Sa’ad telah
menggoncangkan ‘Arsy, dan jenazahnya diantar 70.000 malaikat.” (HR
Al-Baihagi dari Ibnu `Umar r.a.)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Jibril menemui Nabi Saw lalu
bertanya, “Siapakah hamba saleh yang wafat sehingga pintu-pintu langit
terbuka untuknya dan `Arsy bergetar?” Nabi kemudian keluar, ternyata
Sa’ad bin Mu`adz telah wafat. (HR Al-Baihaqi dari Jabir r.a)
Rafi` al-Zargi menceritakan bahwa salah seorang kaumnya memberitahu
bahwa Jibril telah mendatangi Nabi Saw di tengah malam dengan mengenakan
ikat kepala dari sutra tebal, lalu Jibril bertanya, “Jenazah siapa
gerangan yang telah membuka pintu langit dan menggoncangkan Arsy?”
Beliau segera berdiri menemui Sa’ad bin Mu’adz dan menemukannya telah
gugur. Dalam riwayat lain Hasan Al-Bashri berkata, “Sa’ad bin Mu`adz
telah menggoncangkan ‘Arsy Zat Yang Maha Pengasih, karena gembira dengan
kedatangan ruhnya.” (Kedua riwayat ini diceritakan oleh Al-Baihaqi)
Muslimah bin Aslam bin Harisy bercerita, “Rasulullah Saw memasuki
rumah Sa’ad, tetapi tak ada seorang pun di dalamnya kecuali Sa’ad yang
ditutupi kain. Kemudian aku melihat beliau melangkah dan memberi isyarat
kepadaku agar berhenti. Aku berhenti dan mundur ke belakang, beliau
duduk sebentar lalu keluar. Aku berkata, `Ya Rasulullah, aku tidak
melihat seorang pun di sana, namun aku melihatmu melangkah.’ Beliau
menjawab, Aku tidak bisa duduk, sampai salah satu malaikat melepaskan
salah satu sayapnya.”‘ (HR Ibnu Sa’ad)
Riwayat lain menceritakan hahwa ketika Sa’ad bin Mu’adz wafat,
Rasulullah Saw menggenggam kedua lutut Sa’ad lalu berkata, “Malaikat
masuk, tetapi tidak mendapatkan tempat duduk, maka aku lapangkan tempat
untuknya.” Ketika orang-orang mengusung jenazah Sa’ad bin Mu’adz yang
pada masa hidupnya ia adalah orang yang paling besar dan tinggi, salah
seorang munafik berkata, “Kami belum pernah mengusung jenazah yang lebih
ringan daripada hari ini.” Lalu Nabi Saw bersaada, “Jenazah Sa’ad bin
Mu’adz disaksikan 70.000 malaikat yang tidak menginjak bumi sama
sekali.” (Riwayat Abu Na’im dari Asy’at bin Ishaq bin Sa’ad bin Abi
Waqash)
Diceritakan pula bahwa ketika mengusung jenazah Sa’ad, orang-orang
mengatakan, “Ya Rasulullah, kami belum pernah mengusung jenazah yang
lebih ringan daripada ini.” Beliau menjelaskan, “Kalian merasa ringan,
karena malaikat telah turun tangan, padahal sebelumnya mereka belum
pernah ikut mengusung jenazah bersama-sama kalian.” (Riwayat Ibnu Sa’ad
dari Mahmud bin Lubaid)
Muhammad bin Syarahbil bin Hasanah menceritakan bahwa pada hari itu,
orang-orang mengambil tanah kuburan Sa’ad dan membawanya pulang. Setelah
pulang, mereka melihat tanah tersebut telah berubah menjadi minyak
wangi. Rasulullah Saw berkata, “Maha Suci Allah, Maha Suci Allah.” Lalu
beliau mengusapkan minyak wangi itu ke wajahnya dan berkata lagi,
“Segala puji hanya bagi Allah, kalau ada orang yang selamat dari
himpitan kubur, Sa’ad lah orangnya. Ia dikenai satu himpitan, kemudian
Allah membebaskannya.” (HR Ibnu Sa’ad dan Abu Na’im dari jalur Muhammad
bin Munkadir)
Anni Sa’id al-Khudri r.a. berkata, “Aku ikut menghadiri pemakaman
Sa’ad. Setiap kami menggali sebongkah tanah kuburnya, kami mencium harum
minyak wangi.” (Riwayat Ibnu Sa’ad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar